Rabu, 22 Januari 2014

Refleksi Untuk International Literacy Day 2012





“Paris, UNESCO Main Office Building. Suatu hari di tahun 2012”


Layar-layar komputer masih menyala terang. Website resmi UNESCO masih sangat sibuk menerima berbagai notifikasi dari berbagai belahan dunia terkait International Literacy Day. Rapat staff baru saja usai, tapi kesibukan di kantor ini belum menunjukkan gejala akan berhenti dalam waktu dekat. Beberapa orang berdiri berkelompok,  sebagian berbicara berhadapan dengan alis yang berkerut-kerut. Tumpukan kertas berwarna warni diletak tak beraturan pada sebuah meja yang di setting bak bar sederhana. Sesekali, terdengar cekikikan kecil. Sungguh, sebuah perayaan dari rapat alot yang baru saja usai.

Di sisi sudut ruangan, seorang staff berdiri memandang lepas ke arah jendela. Matanya lekat mengamati pahatan huruf berwarna coklat tua bertuliskan UNESCO, tepat di sisi depan gedung berarsitektur Eropa  yang kental. Isi kepalanya tengah mengembara jauh dari kota yang bergelar The City Of Lights dan The Home of Croissant. Paris, baginya sungguh tak terasa terpijak. Jiwanya hadir di keriuhan sebuah negara berkembang. Satu kawasan di Asia, yang pernah ia singgahi sebentar, Indonesia. Negara yang menurut catatan UNESCO, masih memiliki tingkat buta aksara tertinggi di dunia. Sebuah negara, yang di bulan September akan menerima penghargaan UNESCO Literacy Prize di jantung kota Paris.

foto oleh . Photograph: Remy De La Mauviniere/AP




 ------------------------------
“Jeneponto, Desa Garasikkang, Indonesia. Pukul 19.30 malam selepas shalat Isya. Suatu malam di Bulan Agustus, 2008”


Belasan warga berkumpul di sebuah rumah kayu. Malam yang gulita, hanya sedikit penerangan di jalan jalannya yang becek selepas maghrib. Mengandalkan senter sebagai penerang, satu persatu warga desa datang memenuhi undangan mahasiswa KKN UNHAS, yang khusus ditugaskan kampus untuk memberantas buta aksara.

Beberapa orang lelaki nampak sudah berumur. Sisanya, masih remaja dan dewasa. Ada juga seorang anak lelaki. Wah, ini peserta yang bervariasi dari segi umur namun datang dengan satu spirit, yakni “belajar membaca dan belajar Bahasa Indonesia”.




Sederhana, mereka akan mengalami sebuah proses pembelajaran yang penting. Bagi mereka, saat ini hanyalah  proses belajar membaca semata.  Namun bagi diriku, tutor tamu malam ini, peristiwa belajar mengajar soal baca tulis - berbahasa ini adalah soal  proses mengenal identitas bangsa yang penting, yakni Bahasa Indonesia. Sekaligus, pemberdayaan dan awal menuju kemerdekaan , yakni merdeka dari buta aksara.


Kelas bermula hening. Serasa ada yang berjarak. Perasaan ini datang sekonyong-konyong menghalau semangat. Berusaha  aku tepis dengan mengirim sebuah senyum dan mengenalkan nama. Hanya kukenalkan nama dan asalku. Semua dilakukan dengan bahasa daerah asli yakni Bahasa Makassar, yangjuga sebagai bahasa pengantar.
Lalu, aku meminta permisi untuk berfoto sebentar untuk sesi perkenalan ini. Seketika, peserta ribut. Mereka berebutan untuk difoto. Plek, hatiku yang tadi galau berubah lega. Suasana kelas lebur sudah. Pertanda baik. Tentu saja.

Selanjutnya, aku meluluskan keinginan peserta untuk foto-foto dulu baru belajar. Tak apa, toh pada akhirnya mereka mau belajar juga. Tak mudah meminta warga datang untuk berkumpul dan belajar. Apalagi pada usia mereka, serta status yang beragam. Ada yang seorang ayah, anak muda, hingga preman kampung.
Apa dikata, takdir telah mengirim mereka untuk datang. Aku tak akan menyia nyiakan kesempatan itu.

Segera,  kukeluarkan sebuah whiteboard kecil dan spidol, serta alat tulis menulis dan modul yang telah dibekali kampus untuk KKN Pemberantasan Buta Aksara ini. Satu persatu aku meminta mereka menuliskan nama. Beberapa bisa, ada yang malah tidak bisa sama sekali. Kuputuskan untuk menggunakan metode paling sok tahu yang aku bisa, yakni pecahkan kasus per kasus. Untungnya, selain diriku ada dua teman, Anca dan Nocank sebagai asisten pengajar. Kami lalu berbagi grup. Aku  menangani yang  buta aksara sepenuhnya.


Entah dari mana mulainya, tetiba muncul ide untuk menanyakan mengapa mereka mau belajar membaca. Bukankah banyak peserta yang sudah tua dan matanya bahkan sudah rabun?.
Beragam jawaban akhirnya muncul. Intinya, mereka perlu akan kemampuan baca tulis, apalagi rata-rata mereka berprofesi sebagai nelayan. Sangat penting bagi mereka untuk bisa membaca, karena terkadang  mereka harus beli alat untuk melaut di toko dan bingung jika harus membaca merk, kegunaan, dan cara pakainya.

Permasalahan lainnya, meminta bantuan  anak mereka untuk  ke toko membeli perlengkapan melaut terkadang susah karena kebutuhan sudah terlalu mendesak, sementara sang anak juga banyak aktivitas lainnya misalnya sekolah dan bergaul. Apalagi, jika belinya harus di kota Makassar. Bisa rumit dan panjang persoalannya. Makanya, bisa membaca adalah jalan untuk mandiri bagi mereka. Sederhana sekali, namun sangat besar maknanya.


Belajar hal baru tentu tak pernah mudah. Bagi mereka, belajar mengenal huruf A,B,C dan teman-temannya itu (D-Z) bak belajar bahasa asing. Ngejlimet. Ruwet.Kramotak. Tapi, targetku adalah semua peserta harus bisa. Aku tak akan tawar menawar dalam target, karena waktuku hanya singkat di desa ini. Aku harus datang dengan bekal dan pulang tanpa sesal.

Lanjut cerita, A-Z tuntas terbahas semalam. Aku minta mereka mengulanginya di rumah dan meminta bantuan saudara atau anak untuk mengawal proses belajar mandiri mereka di rumah masing-masing.

Di tengah proses belajar, aku kerap mencuri detik. Beberapa detik, aku menatap lurus pada raut wajah peserta. Aku memikirkan hal yang lebih besar dari sekedar seraut rona rupa wajah. Aku memikirkan ideologi pembangunan Indonesia dan wacana investasi kemanusiaan.
Aku terus menerus memikirkan pemerintah Indonesia mulai dari level eksekutif hingga legislatif yang ramai ramai berinvestasi besar-besaran untuk gaya hidup dan kendaraan dinas mewah. Sungguh kekhawtiran muncul, apakah  investasi kemanusiaan telah dianggarkan dengan baik atau tidak di negeri kita. Entahlah!
Hingga proses belajar mengajar baca tulis ini selesai, saya tak beranjak dari kegelisahan akan investasi kemanusiaan atau apapun namanya itu.

para peserta belajar PBA KKN UNHAS


 -----------------------------------------------------------------------------


" Nunukan, 17 Agustus 2012"

Malam ini, tak kurang dari sebulan dunia akan merayakan Hari Literasi Internasional. Buta Aksara akan menjadi wacana dunia. Data bermunculan layaknya jamur di musim hujan. Tak ketinggalan, bantuan keuangan global akan mengalir ke kas negara-negara yang tercatat memiliki angka buta aksara yang tinggi.Indonesia, seperti yang sudah tertulis di awal tentu masuk nominasi negara yang harus diberikan dana yang besar.
Tetapi, di luar fenomena birokrasi dan organisasi internasional yang tengah sibuk bersiap untuk seremoni tahuanan, aku kembali dirajai kegelisahan yang sama. Tahukah peserta kelasku malam itu, jika kurang dari sebulan, secara personal, aku betul-betul berharap kalau mereka akan turut larut dalam perayaan bebas buta aksara. Tak perlulah selebrasi, cukup dengan bisikan hati ..” Hei Mbak Nida, aku sudah bisa membaca”.

 ——————————————————————————

*8 September 1964, UNESCO menetapkan 8 September sebagai Hari Literasi Internasional (International Literacy Day)*

* LaporanVOA Indonesia edisi 24 Agustus 2012, Jumlah angka buta huruf di Indonesia mencapai 8,5 juta jiwa, 5,1 juta diantaranya adalah perempuan. Jumlah ini menurun dari 2004 lalu dengan 15 juta penduduk buta huruf, namun masih merupakan angka terbesar di dunia, menurut data Kementerian Pendidikan Nasional.*


Sedikit cerita lucu yg tersisa dari KKN PBA 2008, “seorang ibu paruh baya yang tengah belajar Bahasa Indonesia dengan polosnya menulis ” bahasa Indonesia tidur siang adalah tidur matahari". (ketawa guling-guling)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar