Minggu, 26 Januari 2014

Inspiring Change - Di Manakah Kami Harus Menyusui?

*tulisan ini sebagai bagaian support untuk AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia), khususnya AIMI Sul-Sel*
 International Women's Day 2014 Theme: INSPIRING CHANGE

"Women's equality has made positive gains but the world is still unequal. International Women's Day celebrates the social, political and economic achievements of women while focusing world attention on areas requiring further action."
Waktu telah melaju jauh, dunia telah memperingati Hari Perempuan International sejak tahun 1911. Setiap tahun perayaan tema diusung berganti-ganti, tentunya untuk merespon kebutuhan perempuan secara global.  
Tahun ini PBB, melalui UN Women merilis tema "Equality for Women is Progress for All".

 
Saya sepakat, inilah tuntutan perempuan saat ini. Seperti paragraph pembuka di atas, bahwa kesetaraan perempuan memang telah berdampak positif pada banyak situasi, hanya saja dunia ini belum sepenuhnya SETARA. Tidak percaya ?. Entah pembaca yang budiman laki-laki atau perempuan, maka mari kita melihat fakta - fakta kecil  nan sederhanan di lingkaran kehidupan kita sehari-hari. Selebihnya, anda boleh berkesimpulan sendiri.

“Equality for women is progress for all”.
“Equality for women is progress for all”.

“Equality for women is progress for all”.

Dunia boleh bergembira, namun perempuan Indonesia tak sepenuhnya larut dalam eforia perayaan hak hak keseteraan gender. Dunia boleh saja melesat cepat dengan slogan pembangunan dan modernitas yang semakin tumbuh di mana-mana, namun hak – hak perempuan dan kebutuhan perempuan dalam pembangunan belum sepenuhnya mewujud. Yah, dunia memang boleh semakin kompleks, hanya saja hak perempuan dalam kompleksitas pembangunan sepertinya diabaikan oleh  penyelenggara pembangunan, baik negara maupun pihak swasta. Dan parahnya, lelaki lelaki di sekeliling kita, entah itu suami, dosen, insinyur, arsitektur, hingga kepala daerah banyak yang diam-diam saja, seolah tak terjadi apa-apa.

Yang paling menyedihkan, bahwa pemenuhan hak perempuan dalam pembangunan selalu disinggungkan dengan tautan politik, kuota 30 % atau jabatan publik. Apalagi di tahun politik ini, fokus media dan banyak diskusi warung kopi hanya pada kuantitas dan mungkin juga kualitas caleg pemenuhan untuk partai politik. Apakah mereka lupa, bahwa tak semua perempuan terjun berpolitik sebagai caleg, sehingga perempuan terlupakan ini bahakan tak pernah didiskusikan kebutuhan-kebutuhannya. Padahal, kami perempuan biasa yang tidak berpolitik dan bukan pejabat publik juga punya hak kesetaraan gender. Kami perempuan biasa non karir politik juga menuntut hak keadilan gender. Sama seperti caleg-caleg perempuan itu.

Sederhana sekali, kami butuh penyelenggara pembangunan melayani hak reproduksi kami sepenuhnya, tanpa pengecualian dan setengah hati. Kami butuh bukan saja mall atau jejeran tempat belanja, namun kami butuh mall mall yang ada itu menyediakan Ruang  Ibu dan Bayi , semacam ruangan untuk mengganti popok bayi, menyusi, aatau melepas penat setelah menggendong bayi seharian berbelanja kebutuhan rumah tangga.
Sering sekali, kami kaum perempuan yang jumlahnya  mayoritas di Indonesia, harus rela menggadaikan payudara menjadi tontonan umum karena kami harus menyusi.  Hal itu sungguh merepotkan dan memalukan , karena tak jarang kami harus tarik menarik kain tutupan payudara dengan bayi sendiri. Ironis sekali, karena teori memberi ASI di semua penjuru dunia dan literatur berbunyi bawa kondisi psikologis ibu saat menyusui bayi sangat berpengaruh dalam perkembangan emosional, intelektualitas, bahkan kesehatan bayi. Bagaimana bisa memberi ASI yang baik di tengah rasa kikuk dan tergesa-gesa serta udara yang tercampur asap rokok seperti kebanyakan ruang [ublik di sekitar kita?.

Rasanya sulit sekali di Indonesia ini, termasuk kota besar untuk  menemukan fasilitas publik yang dikelola negara yang memiliki Ruang Ibu dan Bayi. Sejauh pengamatan saya, hanya ada satu tempat di pusat permainan terbesar di Makassar yang menyediakan. Namun, di ruang publik dan fasilitas umum hampir tidak ada. Lihat saja di Bandara Internasional Hasanuddin dan Pelabuhan Sukarno Hatta, jikapun ada maka ruangan ini kecil dan terpencil, dalam artian berada pada satu pojokan yang sulit ditemukan secara cepat. Padahal, Melalui amanat Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, pemerintah Indonesia telah menempatkan isu Gender sebagai isu strategis dalam penyelenggaraan negara, termasuk pembangunan.  

Apresiasi pemerintah ini tentulah terkait dengan besarnya gelombang wacana dunia tentang keadilan gender untuk segera diaplikasikan di negara berkembang. Tak bisa dipungkiri bahwa perempuan kini boleh bernafas lega. Negara telah memberikan banyak fasilitas non fisik buat perempuan, baik dalam jaminan kesehatan khususnya persalinan juga bantuan kredit usaha kecil yang bisa diakses perempuan dengan usaha rumahan.
Negara memang telah mengambil banyak langkah maju, tapi sekaligus tertinggal banyak dengan negara lain di kawasan Asia. Jadi betul sekali, jika Indoneksia itu adalah negara yang sangat paradoksal, di satu sisi sangat maju dari sisi gaya hidup, di sisi lain sangat tertinggal dari syarat kualitas gaya hidup yang sehat. 
Jika anda pernah berkunjung ke China, tepatnya di Beijing, maka anda akan kaget serupa halnya dengan saya, karena di sana, pengelola bandara telah menyediakan Ruang Ibu dan Bayi yang sagat lapang dan mudah anda di temui didekat counter check-in. Ruangan ini sangat membantu mereka yang  mereka yang melakukan perjalanan bersama bayi (travel with baby), anak, dan lanjut usia (lansia).

Saya tak perlu pula menuturkan lebih jauh, bahwa tetangga kita yang paling dekat, Singapura, di Changi International Airport , Nursing room mereka bahkan terkesan sangat nyaman dan bersih. Pernah suatu waktu, saya melakukan jalan-jalan di bandara ini hanya untuk mengintip ruang Ibu dan Anak mereka. 
Di Changi airport, Ruang Ibu dan bayi (BabyCare Room) tersedia di 3 Terminal dengan jumlah lebih dari 10 ruangan. Sebagai tambahan, Changi juga menyediakan Taman Kupu-Kupu - Butterfly Botanical Garden- di dalam airport bagi mereka yang melakukan perjalanan bersama anak-anak. Dalam obrolan singkat saya dengan petugas bandara, mereka mengatakan semua fasilitas ini ada karena mereka mengerti betapa melelahkan bagi seorang ibu atau ayah yang melakukan perjalanan dengan anak dan bayi mereka. Stress bukan saja bisa dialamai oleh orang tua bhakan juga oleh anak dan bayi, karena itu kami mengerti bahwa kami di sini ada untuk melayani anda semuanya.
Butterfly Garden di Terminal 3 Changi Airport, Singapura. Foto dari http://www.changiairport.com/at-changi/leisure-indulgences/nature-trail

Mari berbalik arah lembali pada negeri tercinta ini. Relasi gender yang timpang dalam pembangunan terlihat jelas di fasilitas publik di Indonesia. Adalah sebuah keniscayaan, jika pembangunan  melalaikan relasi yang adil antara porsi perempuan dan laki laki dalam pembangunan, maka efektifitas dan fungsi pembangunan akan terhambat. 
Lalu, mana suara kita? Apa tuntutan kita?. Barangkali,  bait penutup ini bisa menjelaskan suara hati saya sebagai bagaian dari warga negara yang acapkali tergadai hak reproduksinya.

"Pemberdayaan perempuan adalah gelombang yang harus bergerak dari bawah dan berakar pada kebutuhan perempuan sendiri. Jika konteksnya adalah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, maka variasi kegiatan akan sangat beragam dan itu sebuah hal yang sangat baik, misalnya Pemerintah Provinsi mewajibkan setiap Kabupaten memiliki Rumah sakit Ibu dan Anak, memiliki ruang menyusui  (laktasi) dengan kondisi yang sehat, bersih, nyaman dan layak pada terminal, bandara  atau fasilitas publiknya. Bayangkan saja, banyaknya kemudahan yang akan dialami oleh perempuan khususnya ibu dan bayi. 
Akhir kata, kebijakan – kebijakan sederhana namun konsisten dilaksanakan adalah hal yang bisa mempercepat peningkatan kualitas hidup perempuan.

Bukankah dikatakan bahwa negara akan kuat jika perempuannya kuat. Ingat, di tangan perempuanlah pendidikan karakter anak bangsa dimulai. Barangkali karena itu, sejarah menyebut Indonesia sebagai ibu pertiwi."

*penulis adalah fans garis keras AIMI SULSEL, dan Indonesia tentu saja serta telah pensiun dari Ibu Menyusui setelah 4 tahun ( 2 kali untuk 2 putra) merasakan kesusahan menyususi di banyak tempat.*


Tidak ada komentar:

Inspiring Change - Di Manakah Kami Harus Menyusui?



*tulisan ini sebagai bagaian support untuk AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia), khususnya AIMI Sul-Sel*

 International Women's Day 2014 Theme: INSPIRING CHANGE


"Women's equality has made positive gains but the world is still unequal. International Women's Day celebrates the social, political and economic achievements of women while focusing world attention on areas requiring further action."


Waktu telah melaju jauh, dunia telah memperingati Hari Perempuan International sejak tahun 1911. Setiap tahun perayaan tema diusung berganti-ganti, tentunya untuk merespon kebutuhan perempuan secara global.  
Tahun ini PBB, melalui UN Women merilis tema "Equality for Women is Progress for All".
Saya sepakat, inilah tuntutan perempuan saat ini. Seperti paragraph pembuka di atas, bahwa kesetaraan perempuan memang telah berdampak positif pada banyak situasi, hanya saja dunia ini belum sepenuhnya SETARA. Tidak percaya ?. Entah pembaca yang budiman laki-laki atau perempuan, maka mari kita melihat fakta - fakta kecil  nan sederhanan di lingkaran kehidupan kita sehari-hari. Selebihnya, anda boleh berkesimpulan sendiri.

“Equality for women is progress for all”.
“Equality for women is progress for all”.

“Equality for women is progress for all”.

Dunia boleh bergembira, namun perempuan Indonesia tak sepenuhnya larut dalam eforia perayaan hak hak keseteraan gender. Dunia boleh saja melesat cepat dengan slogan pembangunan dan modernitas yang semakin tumbuh di mana-mana, namun hak – hak perempuan dan kebutuhan perempuan dalam pembangunan belum sepenuhnya mewujud. Yah, dunia memang boleh semakin kompleks, hanya saja hak perempuan dalam kompleksitas pembangunan sepertinya diabaikan oleh  penyelenggara pembangunan, baik negara maupun pihak swasta. Dan parahnya, lelaki lelaki di sekeliling kita, entah itu suami, dosen, insinyur, arsitektur, hingga kepala daerah banyak yang diam-diam saja, seolah tak terjadi apa-apa.

Yang paling menyedihkan, bahwa pemenuhan hak perempuan dalam pembangunan selalu disinggungkan dengan tautan politik, kuota 30 % atau jabatan publik. Apalagi di tahun politik ini, fokus media dan banyak diskusi warung kopi hanya pada kuantitas dan mungkin juga kualitas caleg pemenuhan untuk partai politik. Apakah mereka lupa, bahwa tak semua perempuan terjun berpolitik sebagai caleg, sehingga perempuan terlupakan ini bahakan tak pernah didiskusikan kebutuhan-kebutuhannya. Padahal, kami perempuan biasa yang tidak berpolitik dan bukan pejabat publik juga punya hak kesetaraan gender. Kami perempuan biasa non karir politik juga menuntut hak keadilan gender. Sama seperti caleg-caleg perempuan itu.

Sederhana sekali, kami butuh penyelenggara pembangunan melayani hak reproduksi kami sepenuhnya, tanpa pengecualian dan setengah hati. Kami butuh bukan saja mall atau jejeran tempat belanja, namun kami butuh mall mall yang ada itu menyediakan Ruang  Ibu dan Bayi , semacam ruangan untuk mengganti popok bayi, menyusi, aatau melepas penat setelah menggendong bayi seharian berbelanja kebutuhan rumah tangga.

Sering sekali, kami kaum perempuan yang jumlahnya  mayoritas di Indonesia, harus rela menggadaikan payudara menjadi tontonan umum karena kami harus menyusi.  Hal itu sungguh merepotkan dan memalukan , karena tak jarang kami harus tarik menarik kain tutupan payudara dengan bayi sendiri. Ironis sekali, karena teori memberi ASI di semua penjuru dunia dan literatur berbunyi bawa kondisi psikologis ibu saat menyusui bayi sangat berpengaruh dalam perkembangan emosional, intelektualitas, bahkan kesehatan bayi. Bagaimana bisa memberi ASI yang baik di tengah rasa kikuk dan tergesa-gesa serta udara yang tercampur asap rokok seperti kebanyakan ruang [ublik di sekitar kita?.

Rasanya sulit sekali di Indonesia ini, termasuk kota besar untuk  menemukan fasilitas publik yang dikelola negara yang memiliki Ruang Ibu dan Bayi. Sejauh pengamatan saya, hanya ada satu tempat di pusat permainan terbesar di Makassar yang menyediakan. Namun, di ruang publik dan fasilitas umum hampir tidak ada. Lihat saja di Bandara Internasional Hasanuddin dan Pelabuhan Sukarno Hatta, jikapun ada maka ruangan ini kecil dan terpencil, dalam artian berada pada satu pojokan yang sulit ditemukan secara cepat. Padahal, Melalui amanat Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, pemerintah Indonesia telah menempatkan isu Gender sebagai isu strategis dalam penyelenggaraan negara, termasuk pembangunan.  


Apresiasi pemerintah ini tentulah terkait dengan besarnya gelombang wacana dunia tentang keadilan gender untuk segera diaplikasikan di negara berkembang. Tak bisa dipungkiri bahwa perempuan kini boleh bernafas lega. Negara telah memberikan banyak fasilitas non fisik buat perempuan, baik dalam jaminan kesehatan khususnya persalinan juga bantuan kredit usaha kecil yang bisa diakses perempuan dengan usaha rumahan.

Negara memang telah mengambil banyak langkah maju, tapi sekaligus tertinggal banyak dengan negara lain di kawasan Asia. Jadi betul sekali, jika Indoneksia itu adalah negara yang sangat paradoksal, di satu sisi sangat maju dari sisi gaya hidup, di sisi lain sangat tertinggal dari syarat kualitas gaya hidup yang sehat. 

Jika anda pernah berkunjung ke China, tepatnya di Beijing, maka anda akan kaget serupa halnya dengan saya, karena di sana, pengelola bandara telah menyediakan Ruang Ibu dan Bayi yang sagat lapang dan mudah anda di temui didekat counter check-in. Ruangan ini sangat membantu mereka yang  mereka yang melakukan perjalanan bersama bayi (travel with baby), anak, dan lanjut usia (lansia).
Saya tak perlu pula menuturkan lebih jauh, bahwa tetangga kita yang paling dekat, Singapura, di Changi International Airport , Nursing room mereka bahkan terkesan sangat nyaman dan bersih. Pernah suatu waktu, saya melakukan jalan-jalan di bandara ini hanya untuk mengintip ruang Ibu dan Anak mereka. 

Di Changi airport, Ruang Ibu dan bayi (BabyCare Room) tersedia di 3 Terminal dengan jumlah lebih dari 10 ruangan. Sebagai tambahan, Changi juga menyediakan Taman Kupu-Kupu - Butterfly Botanical Garden- di dalam airport bagi mereka yang melakukan perjalanan bersama anak-anak. Dalam obrolan singkat saya dengan petugas bandara, mereka mengatakan semua fasilitas ini ada karena mereka mengerti betapa melelahkan bagi seorang ibu atau ayah yang melakukan perjalanan dengan anak dan bayi mereka. Stress bukan saja bisa dialamai oleh orang tua bhakan juga oleh anak dan bayi, karena itu kami mengerti bahwa kami di sini ada untuk melayani anda semuanya.
Butterfly Garden di Terminal 3 Changi Airport, Singapura. Foto dari http://www.changiairport.com/at-changi/leisure-indulgences/nature-trail


Mari berbalik arah lembali pada negeri tercinta ini. Relasi gender yang timpang dalam pembangunan terlihat jelas di fasilitas publik di Indonesia. Adalah sebuah keniscayaan, jika pembangunan  melalaikan relasi yang adil antara porsi perempuan dan laki laki dalam pembangunan, maka efektifitas dan fungsi pembangunan akan terhambat. 
Lalu, mana suara kita? Apa tuntutan kita?. Barangkali,  bait penutup ini bisa menjelaskan suara hati saya sebagai bagaian dari warga negara yang acapkali tergadai hak reproduksinya.


"Pemberdayaan perempuan adalah gelombang yang harus bergerak dari bawah dan berakar pada kebutuhan perempuan sendiri. Jika konteksnya adalah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, maka variasi kegiatan akan sangat beragam dan itu sebuah hal yang sangat baik, misalnya Pemerintah Provinsi mewajibkan setiap Kabupaten memiliki Rumah sakit Ibu dan Anak, memiliki ruang menyusui  (laktasi) dengan kondisi yang sehat, bersih, nyaman dan layak pada terminal, bandara  atau fasilitas publiknya. Bayangkan saja, banyaknya kemudahan yang akan dialami oleh perempuan khususnya ibu dan bayi. 
Akhir kata, kebijakan – kebijakan sederhana namun konsisten dilaksanakan adalah hal yang bisa mempercepat peningkatan kualitas hidup perempuan.

Bukankah dikatakan bahwa negara akan kuat jika perempuannya kuat. Ingat, di tangan perempuanlah pendidikan karakter anak bangsa dimulai. Barangkali karena itu, sejarah menyebut Indonesia sebagai ibu pertiwi."

*penulis adalah fans garis keras AIMI SULSEL, dan Indonesia tentu saja serta telah pensiun dari Ibu Menyusui setelah 4 tahun ( 2 kali untuk 2 putra) merasakan kesusahan menyususi di banyak tempat.*


Sabtu, 25 Januari 2014

Penggalan Kisah dari Amerika

Hari ini, Amerika sedang libur Martin Luther King Day, 21st January. Sekilas, tidak ada yang istimewa di Santa Cruz, kota kecil yang kini tempatku bermukim sementara di negeri Paman Sam. Hari berjalan seperti biasa. Hanya saja berbagai toko dan mall turut andil merayakan peringatan memorial day Martin Luther King dengan diskon hingga 75 % .

sudut kota Santa Ceuz, california, USA

Sejak pertama tiba,  kota ini nyaris hujan setiap pagi. Memang, Desember hingga Februari adalah musim dingin (winter season) di Amerika. Meski hujan gerimis turun seakan tak pernah lelah, aku memutuskan untuk keluar dengan keluarga baruku di sini (host family). Cuaca telah berada di titik 3 derajat Celcius. Hal ini turut membawa dingin menusuk-nusuk kulit. Jangan bayangkan betapa gigilnya tubuh tertimpa angin musim dingin. Konon, di Negara Bagian California, angin memiliki serupa sifat terdingin yang melegenda. Banyak warga Amerika yang mengatakan bahwa angin di California sangat dingin meski di musim panas.Jadi, bisa bergidik sendiri bukan jika angin itu bertiup di musim dingin?.

Mengendarai sedan abu-abu bermerk Audy (sebenarnya, saya sangat canggung naik mobil mahal) kami keliling kota. Sang mama baruku ( Linda) mengatakan, akan mengantarkan saya mengunjungi laboratorium binatang di University Of California SC (kampusku) yang sudah dibuka untuk publik. Katanya, kita bisa lihat rangka asli reptil zaman dinosaurus. Sebagai anak angkat yang baik dan sebagiannya diakibatkan rasa canggung menduduki jok kulit sedan itu, saya hanya menganguk-ngangguk. Di perempatan jalan yang tidak terlalu ramai, terlihat dua orang warga negara AS berkulit hitam, sedang berdiri seraya memasang poster besar sang legenda yang tengah dikenang sehari. Semalam di dalam lift University Inn,  apartement tempat ku tinggal, juga terpampang dengan selembar karton besar pidato Martin Luther, yang fenomenal, judulnya I have A Dream. Bagi saya, Amerika di mata warga negaranya sendiri adalah negeri para imigran.

seandainya sy bisa bawa ini pulang ke Indonesia


ini fosil reptil dari zama purba.
                            
Masih dalam sedan Audy abu-abu yang membuat canggung, Mami Linda sibuk nyetir sembari berbicara tentang banyak hal, seperti tentang kebiasaan sarapan dalam keluarganya, kesibukan sang anak bungsu di sekolah , aktivitas melukis dan suaminya yang bekerja di Intel Coorporation. Sebagian bisa kusimak dengan baik namun banyak hal yang terlewat begitu saja. Sebab,kemampuan Bahasa Inggris penutur (native) memang sangat rendah, sebab lainnya karena telinga baru beradaptasi dengan kecepatan berbicara orang Amerika yang sangat cepat, ekspresif, dan melompat-lompat temanya. Saya jadi bingung sendiri, indra mana yang harus dipasang maksimal terlebih dahulu, apakah mata yang harus melotot bengong melihat ekpresi wajah mereka saat berbicara, ataukah telinga yang harus peka menangkap bahasa slang, gerund, dll. Keputusannya, saya PUTUS ASA. Tak ada indra yang bisa maksimal diajak kompromi karena seluruh diri mulai dari otot, sel, tulang kaki hingga bulu hidung, semua tengah mengalamai gegar budaya yang hebat (bisa jadi krn dinginnya cuaca), bahasa kerennya culture shock.

anak hilang yang heboh sendiri

Supaya tidak terlalu terlihat depresi pada diri sendiri, maka saya sibuk memandangi sudut-sudut kota Santa Cruz. Tak begitu perduli lagi pada perihal apa yang di bicarakan Mami Linda. Kubiarkan ia mengoceh sendirian sembari sesekali bergumam oh-I see- yeah, well.  Lalu, saya sibuk membuka berbagai lembaran tentang kampus University of California dalam sebuah map file berwarna kuning. Aih, ada yang menarik di sana. Tentang kampus ini yang berkomitmen tinggi pada kemanusiaan. Lalu cerdas menyuarakannya sekaligus  mengukuhkan komitmen itu pada setiap orang, utamanya mahasiswa baru yang akan menapaki jalan akademiknya di sana. Dalam menyambut keluarga baru dalam lingkungan global mahasiswa di kampus yang reputasinya tak main-main dalam  penelitian tentang biologi lingkungan dan teknologi luar angkasa ini, pihak pengelola kampus (semacam rektorat) menyisipkan stiker di bawah ini .

                                                  Ini nih yang bikin saya merasa diperhatikan sbagi mahasiswa


"No Discrimination..No Harassment". Bukan hanya itu..di kampus ini. Segala konsultasi dan pelayanan mahasiswa (student service) dan kebijakan terkait hal itu tersaji lengkap. Contoh kasus, ketika kamu diperkosa (alamak,amit amit deh) atau mendapatkan pelecehan seksual atau tindakan yang melanggar SARA, maka tempat melapor dan konseling telah tertulis dengan lengkap beserta peta dan alamatnya. bahkan, tertulis pula informasi dimana mahasiswa harus membeli makanan, kafe, membeli tiket bus, hingga dokter-dokter yang berafiliasi dengan kampus, yang siap sedia melayani mahasiswa setiap saat dengan gratis karena pakai asuransi. (karena berhubung ada dokter muda nan kece, jadilah saya selalu rajin mengeluh sakit kepala dan konsul ke dokter itu, padahal cuci mata -tolong abaikan ini))


wajah lugu hari pertama kuliah. kenalkan, saya Nida dari Makassar

Aku jadi ingat, kasus pelecehan yang menimpa mahasiswi UNHAS sejurusanku sesaat sebelum saya ke Amerika ini. Entah bagaimana kampus bereaksi dan bersikap.Yang jelas,kasus itu tak selesai dan korban kemungkinan tak didampingi proses konseling oleh konsuler profesional hingga aku bertandang ke negeri Obama ini.

Kabar Kota Dunia Yang Omong Kosong



foto diambil dari www.panoramio.com

 
Ketika Makassar mencanangkan diri sebagai Kota Dunia, sayup-sayup angin bertiup sepoi-sepoi , membawa kabar bahagia ini pada telinga segenap penduduk kota.  Sebagian warga langsung larut berbahagia menyongsong cita-cita besar ini, sebagian lagi sibuk berucap sumpah serapah, ada pula yang hanya duduk-duduk tanpa suara. 

Anggaplah, sekiranya kita semua turut berbahagia, bersuka cita. Bukankah sangat hebat menjadi Kota Dunia, sejajar dengan New York atau Paris. Ini adalah kabar baik bagi seluruh isi kota. Betul-betul sebuah kabar baik. Maka, seisi kota saling mengirimkan kabar gembira ini, seluruh warga kota mulai merenda-renda kemajuan kota yang akan segera mereka lihat. Hah, tak sabar rasanya seperti warga Paris. Tentulah, kita – warga makassar- akan menjadi kaya raya, karena kota ini akan dikunjungi banyak turis mancanegara. Di mana lagi di Indonesia ini yang berani tampil sebagai kota dunia?.

Kota dunia – banyak turis – warga kaya raya. Rentetan kosa kata ini lalu menebar kebahagiaan tak terperi. Alangkah bahagianya, warga Makassar.  Sebagai warga kota dunia, kita hanya perlu membuka sedikit pekarangan, di tambahkan beberapa tenda-tenda berwarna pelangi, lalu isilah pekarangan dengan bangku dan kursi dari mahoni, jati, ataupun rotan yang dicat warna putih. Jangan lupa meja dan dekorasinya. Sisipkan sedikit bunga mawar atau asoka berwarna-warni dalam sebuah vas tanah liat yang telah ditempeli hiasan kupu-kupu Bantimurung. Bukankah, begitulah adanya warga Paris?. Mereka kaya raya hanya dari halaman rumah.  Dengan pekarangan yang luasnya tak seberapa, mereka membuka kafe-kafe ,warung kopi, atau kios – kios kecil , sebagai persinggahan para turis untuk berehat, sekedar menikmati kota dan bersenda tawa.

sudut kota paris foto dari http://www.exchangezones.com/page282.htm


 Selang beberapa bulan, hingga telah berganti tahun, harapan setinggi langit warga mulai retak di mana-mana. Suhu kota ini semakin panas. Kanal-kanal menjadi macet dengan tumpukan sampah plastik dan buangan barang bekas, semakin menjijikkan karena di sisi kanal tak ditemui pohon rimbun dan bangku-bangku tempat melepas lelah.  Deretan ruko mulai menggeser keberadaan halaman-halaman hijau. Bayangan kota yang adem dan ramah bagi pejalan kaki, sepertinya lenyap entah kemana. Padahal, bukankah Paris, sebuah kota dunia, memiliki banyak jalan khusus bagi pejalan kaki (pedestrian way) dan rerimbunan pohon di sisi kanan kiri. Sebaliknya, jalan-jalan di kota Makassar semakin kejam, pun halnya dengan para pengguna jalan. Untuk alasan-alasan yang kadang tidak kita ketahui, beberapa pejalan kaki yang naas tersenggol kendaraan roda dua atau di klakson nyaring pengemudi roda empat. 

kanal di Paris. foto http://www.exchangezones.com/page282.htm



Konsekuensi menjadi Kota dunia, mungkin terlalu tinggi. Harapan dan gambaran akan kota dunia yang indah menawan, seakan berjalan berlawanan arah dengan kenyataan kota yang semakin bising. Kemudian, ada segenap warga yang bersuara, siapapun di antara kalian yang ingin melanjutkan cita-cita Kota Dunia, maka kutitipkan sedikit bait terakhir ini pada kalian.


Seorang Dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya, Reza AA. Wattimena memaparkan rangkaian kajian filsafat langitan lebih aplikatif pada Filsafat Tata Kota. Ia mengatakan bahwa "kegagalan menciptakan tata kelola demokratis akan menciptakan ketidakpatuhan sah (legitimate disobedience). Artinya ketidakpatuhan pada suatu keputusan ataupun kebijakan, atas dasar rasionalitas yang bisa diterima dengan akal sehat. Ketidakpatuhan muncul, karena orang tidak diajak ambil bagian dalam keputusan yang telah dibuat."

Akhirnya, kabar Kota Dunia yang terlanjur telah diputuskan dan berakibat menggerus uang rakyat secara tak terarah bisa berakhir gagal dan omong kosong belaka hanya karena satu hal yang terlalu disepelekan, yakni 
 karena orang tidak diajak ambil bagian dalam keputusan yang telah dibuat. Alangkah!!!



Kamis, 23 Januari 2014

Bersama Erwiana !!!



Pernahkan engkau terbangun tengah malam lalu menangis karena perempuan lain yang bukan dirimu?. 

Malam ini, saya terbangun dari tidur yang memang tidak terlalu nyenyak. Demi membuang rasa kantuk yang tidak dapat saya tundukkan dengan menutup mata , akhirnya berselancar di internet adalah pilhan. Lalu, saya singgah di tautan ini. 

https://www.facebook.com/notes/rilda-a-oe-taneko/perempuan-pekerja-migran-indonesia/10152185241929855 

Ada tautan di beranda facebook yang dikirim oleh seorang penulis perempuan yang sangat saya kagumi, Mbak Rilda A Oe Taneko. Tautan ini mengantarkan saya singgah dan juga berlama-lama membaca tulisaan singkat mbak Rilda tentang Erwiana, TKI Indonesia di Hongkong, yang mendapat perlakuan brutal dari majikannya. Tentu saja, tulisan itu tidak hanya ditujukan buat Erwiana seorang, namun ditujukan bagi semua....yah...semua perempuan Indonesia yang menjadi TKW. Utamanya, mereka yang telah bekerja dengan baik dan sesuai jalur, namun mendapat perlakukan keji dan brutal. Ironisnya, negara selalu dan selalu dan selalu dan lagi lagi dan lagi abai, lupa, khilaf pada perlindungan keselamatan mereka.



Wajah TKI bukanlah hal yang asing dari kehidupan saya. Saya bekerja di sekeliling mereka, membantu semampu yang saya bisa, juga mendampingi anak-anak mereka dalam hal kesehatan dan tumbuh kembang kecerdasannya. Namun, itu bagi TKI dari Malaysia yang telah kembali ke Indonesia dan menetap sementara di Nunukan, wilayah kecil di Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia. 

Mungkin, eks TKW yang saya hadapi dan temui bernasib baik, bisa pulang dengan selamat, bisa kembali menengok keluarga mereka. Namun, ada banyak di luar sana, di negeri asing,  TKW yang tidak bernasib baik.

Erwiana, salah satuanya. Ia pulang dari Hongkong dengan kondisi yang sungguh mengenaskan. Kedua tungkai kaki hangus karena luka bakar dan penyiksaan fisik yang keji dari majikan. Ia pulang disambut tangis dan pecahnya harapan keluarga pada negara. Ia pulang membawa kepingan betapa negara ini selalu lalai dan lupa dengan perlindungan TKW. Bukan kali ini saja, tiap tahun kita harus mendengar kisah pilu dari TKW dari berbagai negara. 

Kasus Erwiana cukup mengagetkan, jangankan saya yang warga negara biasa, bahkan SBY selaku kepala pemerintahan juga dalam twitternya mengaku sangat kaget karena Hongkong di mata pemerintah RI lebih memiliki peraturan perlindungan TKW yang lebih baik dari pada negara lainnya, misalnya Malaysia dan Arab Saudi.

Beberapa buku tentang pengalaman TKW di Hongkong yang saya baca, memang menggambarkan betapa TKW di Hongkong selangkah lebih maju dari pada TKW di Malaysia dan Arab Saudi. TKW Hongkong memiliki kelompok kelompok kecil yang kuat, mereka tergabung dan memberdayakan diri dalam berbagai aktifitas hobi, seperti menulis. Hal ini bisa mereka lakukan, karena Hongkong memiliki regulasi yang lebih baik untuk TKW misalnya hari libur dan jam kerja. Karena itu, di hari libur para TKW Hongkong selalu berkumpul di Victoria Park, sebuah taman kota yang indah di pusat kota Hongkong.  Di sana mereka menggelar pengajian, berjualan buku, workshop menulis bahkan bedah buku melalui perpustakaan keliling. Luar biasa mereka , bukan?.


Salah satu, TKW Hongkong pernah menulis sebuah buku TKW Menulis. Saya pernah meresensinya di sini 


buku TKW Menulis karya eks TKW Hongkong


  Jika tak ada aral melintang  dalam hitungan kelender kurang dari 2 bulan yakni 8 Maret, dunia akan merayakan momentum tahunan Hari Perempuan Internasional. Hanya saja, bulan ini terlalu kelabu di awal tahun. Bulan ini telah menguras airmata banyak anak bangsa, khususnya perempuan yang mendengar , membaca, menonton, dan mengikuti kasus Erwiana.
Memang, dunia internasional sudah berteriak melalui harian besar , mereka menurunkan foto Erwiana dan tulisan panjang tentang kasus TKW ini serta dorongan mereka sebagai media internasional untuk pemerintah. Setelah itu, negeri sendiri baru terhenyak.  Kita baru bangun dari tidur panjang ketika negara lain membangunkan kita, membuka mata kita. Memang, polisi Hongkong telah menangkap sang majikan Erwiana, lalu membawanya ke Indonesia. Memang,  setelah itu semua, SBY langsung menggelar rapat di istana tentang Erwiana berbarengan dengan rapat agenda penanganan bencana nasional. SBY bahkan langsung menge-tweet di akun twitternya  menyoroti kasus Erwiana sebagai perhatian negara yang prioritas saat ini. 

Catatlah, bahwa pemerintah telah resmi dikomando oleh Presiden. Tapi, kita rakyat jangan pernah lupa bahwa pemerintah SERING SEKALI LUPA. Saatnya kini, kita terus menerus menagih aksi, jangan menagih janji. Mari bantu Erwiana dengan bersuara di kanal manapun yang anda bisa. Tolong, bantu Erwiana dan keluarga mereka, agar tak ada lagi yang lupa dan lalai demi keadilan hukum bagi Erwiana dan keluarga, serta TKW Indonesia yang lainnya. 

Catatan:
You can donate to her directly, sign a petition, write letters and more at the Justice for Erwiana.com Action Centre.