Selasa, 21 Januari 2014

Corat Coret

 Ada sebuah negeri, dimana politik adalah jualan yang laku keras. Di berita TV, di koran,hingga berita online, semua mengabarkan kisruh dan hiruk pikuknya dunia perpolitikan itu. Setiap hari dan setiap detik, berita politik adalah berita headline. Akhirnya, publik yang kadang tak terlalu berkepentingan dengan semua dagelan politik yang panjang itu, lama kelamaan merasa berkepntingan, berkepentingan menonton dan mengikuti dagelannya.
Hingga, mulai ditemukan banyak di sudut kampung perbincangan ttg politik, yg lagi lagi topiknya adalah lakon sang politisi. Miris sekali, proses politik di negeri itu adalah didominasi sekumpulan lakon yang saling adu kemampuan sindir, bukan proses pencerdasan politik. Publik di negeri itu digiring untuk menjadi massa pasif, bukan sebagai individu yang memiliki hak politik.
Juga, masih di negeri itu, isu politik menjadi isu yang paling santer. Program berita hingga infotainment semua berpusar di situ saja, mulai dari kisah cinta politisi ini dgn si Anu, video porno, hingga korupsi si Politisi artis, semua berkelok dan rumit.  Berita semakin heboh, muatannya adalah aib dan segala hal yang negatif. Mungkin saja, negeri itu penganut Good News is  Bad news. Dampaknya, pesimisme muncul dimana-mana. Orang saling mencurigai, mudah memprovokasi dan rawan gosip. Di negeri itu, perlahan – lahan, kekacauan timbul dimana-mana. Teror dan ketakutan mulai tersebar. Darimanakah semua virus itu? Barangkali dari berita. Yah, barangkali.



Lalu, salahkan itu semua?
Bukan persoalan salah dan benar, apalagi kamu yang benar dan aku salah. Logika on off semacam itu sebaiknya kita simpan dan kunci rapat rapat di lemari tempat menyimpan arsip arsip tua. Kenyataan itu cair,hidup itu dinamis. Mengapakah mesti terjebak pada pertanyaan yang berujung pada salah dan benar. Realitas sebagaimana yang tampak setiap saat itu berdimensi..multidimensi. jadi, mari sejenak berjalan jalan, mencoba melihat sisi yang lain. Mari, merayakan hidup.
Nah, di negeri itu, berita tak memberi tempat banyak pada optimisme dan kebanggaan. Berita lupa memberi panggung untuk mereka yang memilih melawan arus. Optisisme tak digaungkan sebesar pesimisme. Virus Optimisme lalu muncul dari jejaring sosial, dari interaksi kelas menengah. Namun, berita media tak pernah berakar pada kebutuhan masyarakat. Informasi menjadi milik mereka yang hanya punya akses. Nah, jika anda miskin di negeri itu, maka sayang sekali, anda harus berjuang sendirian, karena media besar tak ada di sana untuk anda setiap saat.
Saya heran dan bertanya, mengapakah di negeri itu, media besarnya tak memberitakan informasi beasiswa yang melimpah ruah di internet, sehingga akan banyak orang yang tahu dan termotivasi untuk mencoba berbagai peluang. Mengapa mereka yang duduk di meja redaksi, tak memberi liputan yang massif dan sering tentang bagaimana caranya agar masyarakat bisa menghargai diri sendiri melalui kisah inspiratif banyak sosok teladan di negeri itu dalam berbagai bidang. Semua itu perlu, agar  anak bangsa negeri itu tumbuh menjadi sosok yang berkarakter kuat dan punya teladan.

Ah, negeri itu, jika dilihat dalam peta Google Map adalah hamparan warna warni ceria kehidupan. Unsur biru,hijau, coklat dan merah, seakan merata dan berbagi tempat dengan harmonis. Apa mau dikata, denyut manusia negeri itu tak seharmonis bumi yang terpijak.  Sayang sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar