Minggu, 06 April 2014

#CeritaUmroh Part 4 : Welcome On Board

Di King Abdul Aziz International Airport, Jeddah, Arab Saudi

Sehari sebelum berangkat ke Jeddah, terus terang saya mulai dilanda sindrom travelling, begitu istilah saya.  Meski sindrom ini gak terjadi pada semua orang yang hendak bepergian jauh dan lama, tapi hal itu mutlak terjadi pada saya. Selalu begitu acapkali  hendak bertualang ke tempat baru nun jauh. Ciri-cirinya, mata nggak bisa terpejam, gak bisa tidur, tiba-tiba sakit perut, gugup dan pikiran melayang layang gak karuan. 
Gak enak banget sebenanrnya berada dalam kondisi psikologis dan fisik yang lelah jika hendak menempuh perjalanan yang jauh. Apa mau dikata, begitulah tubuh saya bereaksi jika akan ke luar negeri. Sebisa mungkin, saya mengatasi situasi itu dengan memperbanyak dzikir, istighfar, dan shalawat. Saya juga sesekali membaca buku-buku psikologi untuk menenangkan pikiran, kali –kali aja saya mengalami gangguan kejiwaan khusus ;-0).


Tepat pukul 12 malam, memasuki tanggal 18 Februari, saya mulai melakukan beberapa ritual khusus untuk perjalanan Umrah. Pertama, mandi bersih, lalu shalat taubat, shalat sunnat lainnya, serta berdoa dan membaca surat Ar Rahman. Menjelang pukul 03.00 WITA , saya melakukan shalat 2 rakaat sebelum keluar rumah dan doa hendak melakukan perjalanan. 

Menuju ke Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar jalanan masih sangat lancar. Tentu saja nggak ada macet, soalnya masih shubuh. Setiba di sana, suasana sudah sangat ramai. Jamaah umrah rombongan saya sudah berdatangan dari berbagai tempat, ada dari Pangkep, Pare-pare, Papua, Bantaeng, dan Makassar. Rame banget, soalnya kami berangkat dengan jumlah 150 orang jamaah. Rekor banget khan.


Setelah berpamitan pada keluarga yang mengantar, semua jamaah masuk ke dalam ruang tunggu. Gak perlu deh ribet ngurus bagasi, karena semua bagasi sudah ditangani oleh travel, tanpa biaya tambahan loh. Rombongan kami juga check in group oleh travel, jadi gak ada proses antri-antrian di loket. Pokoknya, langsung masuk aja menuju mushalla di ruang tunggu untuk shalat shubuh.
Saat nunggu shalat lumayan lapar banget, saya baru inget rupanya saya bahkan belum makan apa-apa dari semalam. Akhirnnya, nongkronglah saya di Blue Sky Lounge numpang makan, minum kopi dan menikamti barongko sebanyak-banyaknya (takutnya kangen makan barongko selama di sana, apalagi survey membuktikan bahwa di Arab Saudi gak ada yang namanya Pohon Pisang he..he..he..). Di lounge ini juga ada Mushalla, jadi sekalian saya shalat di sana.
Alhamdulillah banget setelah kenyang, sepupu saya yang pimpinan travel mengatakan kalau ia yang traktir. Senang banget euy, eh belum habis rasa gembira di hati, ia lalu membuka dompetnya. Ia memberikan uang jajan 300 real plus istrinya memberi 60 dollar buat saya. Aduh..aduh..bersyukur banget deh dapat rejeki tak terduga. Dengan rasa bahagia yang tak terkira, saya melangkah tenang memasuki pesawat untuk menuju Jakarta.

Jazirah Arab , Padang Pasir semuanya dari ketinggian 35 000 kaki



Seumur-umur naik pesawat ke mana-mana, perjalanan Makassar-Jakarta ini yang paling membuat lutut  lemas. Kira-kira begini, pernahkah kalian merasa sangat dekat dengan maut?. Begitulah kejadiaannya. Karena masih imbas dari abu Gunung Kelud, pilot mengumumkan bahwa jarak pandang hanya 5 meter. Pesawat berguncang hebat, seluruh penumpang diam dan berdoa. Lalu, tiba-tiba terasa pesawat seperti terhempas ke bawah, selebihnya oleng ke kiri dan ke kanan selama setengah jam. Gelas-gelas di ruang pramugari pada berjatuhan dan pecah. Semua yang ada di pesawat berteriak “Allahu Akbar”. Saya bahkan sudah menangis berpegangan tangan dengan penumpang di samping saya. Dalam hati, saya berkata “Ya Allah, jika Engkau  menakdirkan aku hanya sampai di sini, aku ikhlas Ya Allah. La haula Waala Quwwata illahbillah”. Suasana panik dan sangat menegangkan.Tak selang berapa lama, sang pilot sudah berhasil menetralkan laju pesawat. Perlahan-lahan, Jakarta sudah mulai terlihat. Seisi pesawat mulai mengucap “Alhamdulillah” meski masih sedikit tegang, soalnya khan belum sampai beneran.
Setiba di bandara Soekarno Hatta, kami sujud syukur karena selamat dalam 2 jam penerbangan yang sungguh membuat pucat pasi.

Gak lama-lama amat sih di Soetta, hanya transit 3 jam itupun diisi dengan makan pagi (Yess, makan lagi) pembagian paspor dan boarding pass serta pemeriksaan di keimigrasian. Lagi-lagi bagasi sudah dihandle travel. Hanya saja, antri di pengecekan paspor ini yang lumayan lama, soalnya banyak banget khan orang Indonesia yang hendak umrah. Selesai antri, langsung masuk ke ruang tunggu dan naik pesawat. Saat itu, pesawat akan take-off jam 12.00 WIB dengan rute Jakarta-Jeddah, selama 9 jam tanpa transit. 

Perjalanan menuju Jeddah sangat nyaman, selain karena pesawatnya gede banget (bertingkat) serta nggak ada turbelensi. Selama penerbangan, makanan dan minuman sering banget di sajikan. Belum habis makanan yang satu, datang lagi yang lainnya. Apalagi kuenya enak-enak. Jadilah saya selalu berdoa, “semoga pembagian snack segera tiba”. He..he..he. 

Penerbangan datar-datar saja, kecuali ada insiden kecil yang menimpa rakyat kecil (kecil dalam artian postur tubuh hingga strata sosial ) seperti saya. Awalnya, dari travel menginformasikan bahwa saya duduk di kelas bisnis. Eh, rupanya dalam pesawat itu ada rombongan anggota DPR dari partai tertentu yang karena alasan koneksi dengan maskapai mengambil jatah VIP saya. Ya udahlah, saya gak mau ribut. Mau di ekonomi atau di kelas bisnis gak soal, yang penting nggak di suruh melantai sambil gulung tikar. Meskipun sebenarnya lebih enak melantai dan gulung tikar kali di pesawat , biar bisa baring, mengingat waktu terbang yang sangat lama, he,..he..he... 


Akibat insiden kursi yang tertukar tadi, saya duduk sebaris dengan dua nenek-nenek yang terlihat sangat gugup naik pesawat. Alhamdulillah, inilah hikmah dari kejadian itu. Allah SWT memberi saya kesempatan untuk membantu orang lain sekaligus membantu diri sendiri. Seandainya duduk di VIP, mungkin saya akan sibuk tidur dan ngurusin kerempongan diri yang gak ada habis-habisnya itu, atau yang paling jelek, mungkin saya akan sibuk menonton film dan kehilangan kesempatan beramal. Di kursi ekonomi, saya diamanahkan Allah SWT secara tidak langsung untuk membantu 2 nenek-nenek ini memasang sabuk pengaman, merebahkan kursi mereka, hingga memijat-mijat betis dan lengan dan kepala mereka yang sakit. Saya juga, menyelimutinya karena mereka sangat kedinginan. Membantu mereka untuk berbicara dengan pramugara yang cakep (syukur deh ada yang cakep) untuk menyampaikan kebutuhan mereka, misalnya si nenek satu mau minum teh saja tanpa gula, si nenek satu hanya mau air putih saja. Berkali-kali “duo nenek” itu mengucapkan terima kasih pada saya, dan bersyukur karena ada anak semanis dan semodis saya (ehm...ehmmm) yang siap mengurusi mereka di pesawat.
Antrian di bandara untuk membeli kartu pernana, Mobily
                            


Dalam penerbangan yang jauh dan lama, keterampilan untuk menghibur diri sendiri sangat diperlukan. Jadilah saya hanya menatapi peta digital dalam layar lebar di pesawat. Lumayan untuk menghilangkan rasa capek dan bosan . Dari peta, saya melihat bahwa pesawat terbang melintasi Indonesia-Thailand-China-Colombo-India-Dubai-UEA-Jeddah. Sesekali saya membaca buku panduan umrah, mengaji, dan foto-foto.  Ketika pesawat hendak mendarat di King Abdul Azis Internatioanl Airport di Kota Jeddah – Arab Saudi, awak kabin mengumumkan sesuai titah Raja Arab bahwa pesawat harus disemprot dahulu sebelum mendarat. Baru kali ini saya naik pesawat dan disemprot-semprotin pakai wewangian di atas pesawat. Kesannya sih lucu aja, emang kita ini nyamuk disemprotin. ;-).

And Finally, keluarlah pengumuman yang paling ditunggu-tunggu selama 9 jam terakhir yaitu “Para penumpang yang terhormat, selamat datang di Bandara International King Abdul Azis , Jeddah”. Bersamaan dengan itu, mata saya terasa mulai basah. Alhamdulillah, satu tanah baru kembali saya tapaki. Saudi Arabia. 
menunggu Bus dari Airport Jeddah menuju Madinah




Kamis, 03 April 2014

#CeritaUmroh Part 3 : Ini Bukan Jalan-Jalan Biasa, Give Your Best!!!




Di Mesjid Quba-Madinah

Beberes dokumen selesai sudah. Pihak travel menginformasikan kalau VISA UMRAH sudah keluar dan sekarang adalah tahap yang lebih personal, yaitu persiapan mental dan spiritual. Kenapa harus siap mental ?, jawabannya sederhana karena tentu saja perjalanan jauh melintasi benua, dari Asia ke jazirah Arab perlu waktu yang cukup lama. Harus siap dengan penerbangan panjang, saya ini termasuk yang suka bete kalau harus duduk dalam pesawat terlalu lama,  apalagi kalau nggak ada pramugara/i yang kece bisa di amat-amatin wajahnya, hihiihiii. Dan lagi, saya harus merelakan berpisah sementara waktu dengan anak-anak dan suami. Hiks, rasanya sedih juga sih, kepikiran kalau mereka nyariin bundanya. Harus berkali-kali meyakinkan diri kalau konsekuensinya memang begitu.  Hanya dengan mendoakan agar Allah SWT menjaga keluarga saya selama perjalanan dan mempersatuakn kami kembali, hati bisa menjadi tenang.  

Kalau untuk persiapan spiritual, saya memantapkan ilmu tentang rukun-rukun umrah. Karena kebetulan saya tidak dapat hadir pada manasik umrah yang diadakan travel, jadi pilihannya adalah saya berusaha mencari tahu sendiri. Langkah awal adalah saya bertanya pada mereka yg kompeten menjawab perihal umrah ini, baik udztad, orang tua, sepupu-sepupu, hingga teman yang sudah berangkat. Selain itu, saya melakukan riset literatur kecil-kecilan tentang Umrah ini, melalui buku teks maupun blogging. Alhamdulillah, Allah SWT selalu memudahkan proses riset ini. Saya mendapatkan link blog yang menjelaskan dengan rinci tahapan-tahapn umrah serta memberikan pemahaman tentang makna ritual-ritual rukun umrah yang langsung dari hadis Nabi Muhammad SAW serta dijelaskan kembali oleh cucu beliau  Imam Sajjad as (yang banyak sujud), lengkap dengan doa-doa. Saya bersyukur banget ketemu link ini, karena melalui link ini, saya mendapatkan 2 point penting sebagai bekal bathin yang sangat berharga, yaitu :

a.       Dari Imam Khomeini “ barang siapa yang tidak memahami rukun-rukun manasik umrah dan menyepelekannya, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali pahala berihram”.
b.      Dari Imam Sajjad as “berumrahlah kamu dengan makrifat (ilmu yang sempurna)”

Jamaah Umrah Meida Wisata Travel, di Jabal Rahmah , Mekkah 18 Feb-3 Maret 2014

Selain blogging, saya juga mendapat kado buku tuntunan umrah dari seorang teman ( K Halimah Usman) yang pernah berumrah melalui rombongan jamaah travel Rindu Rasul. Buku itu unik, karena model penyajiannya tak sama dengan buku tuntunan umrah kebanyakan. Buku itu ditulis dengan pola narasi yang menyentuh. Buku itu bercerita. Rasanya setiap membaca kalimat perkalimat dalam buku itu tentang Madinah dan Mekkah serta sejarah Rasul SAW dan para Rasul sebelumnya, hati ini bergetar luar biasa. Kalau ada teman-teman yang butuh buku itu, tinggal hubungi saya. Sebisa mungkin, sy akan berusaha mengirimkan kopian buku itu.

Untuk tahap persiapan ini sekian dulu, bagian selanjutnya tentulah yang ditunggu tunggu, yaitu....Welcome to Kingdom of Saudi Arabia !!!!

Kamis, 20 Maret 2014

#Cerita Umrah 2 : Tetek bengek Dokumen (Passport, Visa, Kartu Kuning Vaksin, dll)

Hah!! Saya cukup stres setiap kali berurusan sama dokumen, apalagi ini dokumen kenegaraan yang akan digunakan untuk perjalanan lintas negara. Setiap kali harus memulai mengurus dokumen, rasanya kaki sangat berat melangkah. Intinya, memang dibutuhkan fokus sejenak buat ngurus tetek bengek berkas dan dokumen yang sungguh panjang jalur birokrasinya itu.

a. Passport

Sudah sejak lama saya sadari kalau paspor saya sudah habis masa berlakunya. Pernah bahkan, saat masuk Malaysia , saya di takut-takutin sama petugas imigrasi Nunukan kalau paspor saya yang waktu itu 6 bulan lagi baru expired, katanya sudah tidak berlaku dan bisa berakibat saya tinggal bermalam di imigrasi Malaysia jika tetap ngotot masuk Malaysia saat itu. Karena pada dasarnya keras kepala, saya ngotot saja dan hasilnya, nggak kenapa-napa tuh. he heheheh.

Tetapi, passport perdana saya itu memang sudah tutup usia setelah 5 tahun ikut melanglang buana bersama saya. Untuk urusan berumrah ini, saya harus mengurus passport baru. Lumayan stress juga dari awal, karena ternyata persyaratan dokumen pengurusan pasport sudah banyak yang berubah. Jika berstatus PNS kayak saya, maka wajib melampirkan dokumen Rekomendasi Atasan, yang mana sebenarnya malaaaaaaaaaaaas banget saya urus karena artinya harus bolak balik kantor sendiri dan Imigrasi, Tapi, karena big boss saya sangat welcome dengan rencana umrah ini, maka saya singkirkan jauh-jauh rasa malas dan ribet yang kerap datang menghantui. 

Awalnya, saya mengira kalau Passport buat umrah sama saja dengan paspor buat ke Amrik dulu. Jadi, saya nggak ngomong sama sekali ke petugas Imigrasi kalau saya mau Umrah. Agak malas aja soalnya saya memang nggak mau gembar gembor dulu. Nah, ternyata langkah diam ini sangat berakibat fatal dan keliru, teman. Setelah passport  jadi lalu saya kirimkan ke travel di Makassar, pihak travel segera mengontak saya menginformasikan kalau nama saya kurang satu suku kata.

Whatttttttttt?????!!!. Kurang suku kata ?? saya nggak ngerti. Nama saya dari sononya memang Nursidah Abdullah sesuai semua dokumen resmi saya kayak akta lahir dan KTP, masak iya harus saya renovasi jadi 3 suku kata, misalnya saya nambahin kata "sastrowardoyo" di belakangnya, biar dikira sodara sama mbak Dian Sastro. Jadinya begini, Nursidah Abdullah Sastrowardoyo. Yah nggak mungkin dong, saya seenaknya ngubah nama.

Tapi, petugas travel menjelaskan kalau untuk masuk ke Arab Saudi itu, ada ketentuan khusus dari Kedutaan Saudi kalau passport harus tiga suku kata. Jadi , saya harus "penambahan nama". Kalau nggak, saya nggak bakalan dapat Visa Umrah. Plek, saya pengen nangis jejeritan seketika. How to deal with this? Bagaimana mungkin saya bisa melakukan penambahan nama, sementara saya di Nunukan, passport ada  di Makassar, dan Passportnya dikeluarkan oleh imigrasi Nunukan. Saya betul-betul blank, seketika lemes membayangkan betapa ribetnya urusan satu suku kata nama akhir ini. Saudi ohhhhh Saudi, kenapa sih harus gitu?.

Terus menerus saya merengek dalam hati. Lalu di tengah gundah gulana, saya telepon sepupu yang pimpinan travel . Barulah ada titik terang ketika dia bilang "Kamu tenang aja adek. Nanti di Makassar diurus sama anggota. Nama akhirnya diambil dari nama kakek, yakni Saban (karena suami sy nggak jadi berangkat maka nama kakeklah yang diambil). Jadinya, Nursidah Abdullah Saban". Akhirnya saya bisa sedikit lega dan perlahan-lahan mendapatkan kejernihan akal kembali.

Demi meyakinkan hati yang masih suka kusut tak karuan pada Kedutaan Saudi yang bikin peraturan ribet, saya berselancar di internet, rupanya kasus saya ini dialami banyak calon jamaah Umrah yang ngurus sendiri passportnya tanpa dampingan travel. Tapi, kebijakan Imigrasi di Indonesia memang membolehkan penambahan nama dilakukan di kota mana saja nggak harus kota tempat psspor kita dirilis, karena ternyata nggak ada proses foto passpor  ulang (sebelumnya saya kira ini ada). Hanya saja, kita perlu mengirimkan via email data data kita kembali pada pengurus travel, misalnya akta lahir dan Ijazah. Biayanya pun Gratis..tis..tis. Saat itu juga, saya bertepuk tangan dan merasa Indonesia sudah lebih baik, seperti klaim SBY (halllaaahhhhhhhh). he he he he.

b. Kartu Kuning Vaksin Internasional ( Maningitis)

Untuk orang yang agak cuek dan emang malas mengurus dokumen, saya memandang sebelah mata proses vaksin ini. Nanti saja di Makassar baru vaksin dekat dekat berangkat. Waktu itu, dari travel diinfokan kalau saya akan berangkat ke Jeddah tanggal 18 Februari 2014. Jadinya, saya memutuskan untuk ke Makassar tanggal 10 Februari buat melengkapi persiapan logistik Umrah, misalnya pakaian Ihram dll.

Rupanya, masalah ke-dua datang lagi setelah persoalan passpor yang cukup menguras emosi jiwa ini selesai. Ceritanya begini,tanggal 2 Februari saya terlibat sebagai panitia MTQ di Nunukan. Kebetulan, sesama panitia ada orang Kementrian Agama RI. Cerita punya cerita rupanya dia baru pulang berumrah 3 hari yang lalu dan saya pun bercerita kalau akan segera berangkat. Dia lalu menceritakan persiapan berangkat misalnya download aplikasi Umrah Salam via Apple Store dll. Nah, tiba-tiba dia nanya "sudah vaksin kah dek?", saya dengan santainya menjawab, "belum, bu. nanti saja di Makassar".

Wajahnya langsung kaget dan agak menegang, dia berujar " waduh, bagaimana VISA Umrah bisa keluar kalau nggak ada kartu vaksin. Kamu harus vaksin sebulan sebelum keberangkatan sayang. !"
Saya seperti disambar petir di siang bolong, kaget luar biasa "hahhhh, kok kata travelku gak papa di MKS saja dekat2 brangkat!"

Duarrrrr, hati saya kembali kacau. Saya pulang ke rumah dan tak sabar menunggu hari Senin datang agar bisa segera vaksin di Kementrian Kesehatan area Kesehatan Pelabuhan Nunukan.

Suami saya samapai bolak balik menasehati agar sabar. kamu harus lebih sabar, itu semua ujian, katanya. Saya marah pada diri sendiri kenapa masih saja memelihara sifat cuek pada administrasi. Saya berjanji, saya nggak boleh setolol ini lagi soal tetek bengek dokumen.

Ketika Senin tiba, pagi-pagi saya sambangin kantor Kemenkes RI buat vaksin. Awalnya saya mengira prosesnya gampang, datang, vaksin, bayar, pulang. Rupanya, nggak semudah itu.
Kita harus mengisi biodata dan melampirkan pas foto, yang saat itu lagi-lagi saya nggak punya pas foto. Hahhh, balik lagi nyari pencucian foto yang buka jam 8 pagi, dan ternyata hasilnya nihil. Saya pulang ke rumah dulu nangis sebentar saking sumpeknya hati ini dan berdoa agar Allah SWT memudahkan prosesnya. Setelah jam bergerak ke pukul 9 pagi, saya mulai lagi mencari tukang cuci foto. Nah, setelah ketemu dan beres nyuci pas fotonya, saya ngacir ke kantor Kemenkes Pelabuhan buat vaksin Maningitis.

Dengan semangat 45 saya menyerahkan semua dokumen buat vaksin, yakni fotokopi halaman depan passpor, fotokopi KTP, biodata diri dan biodata travel Umrah yang dipakai serta pas foto. Di sela-sela petugas vaksinnya  nyiapain berkas, saya nanya " Mas , kok seribet ini dokumen vaksin Maningitisnya. ". masnya menjawab "Iya bu, ini vaksin internasional. Dan Kedutaan Saudi nggak mau ngeluarin Visa kalau nggak ada Kartu Kuning yang artinya ibu sudah vaksin!". Saya menyahut "Ok, Sip".padahal hati saya mau runtuh dengar jawabannya barusan, mengingat jarak vaksin saya dan waktu keberangkatan yang sisa 2 mingguan lagi.

Untuk yang kesekian kalinya saya harus kecele lagi. Awalnya, saya kira, vaksin itu lewat mulut, ternyata disuntik di lengan kiri paling atas. Masalahnya adalah, saat itu saya memakai baju dinas PNS Linmas, yang lingkar ujung lengannya kecil hingga nggak bisa digulung sampai ke ketiak dan saya nggak pakai dalaman kaos oblong. Saya sempat minta petugas vaksin perempuan saja, jadi nggak papa deh saya buka baju kalau petugasnya perempuan juga. Rupanya mereka nggak punya petugas perempuan, yang ada semuanya laki-laki. Eng ing eng, saya nggak mungkin dong buka baju di depan mereka. Jadinya, saya harus ke rumah teman yang kebetulan dekat dari tempat vaksin itu buat minjam baju kaosnya. Huhhhhhhhhhhhhhh, cobaaan , kata Upin.

Saya sempat juga bilang ke petugasnya, "Mas, apa nggak ada vaksin lewat mulut saja, ditetesin gitu. Nggak usah suntik suntikan?". Masnya menjawab dengan guyon "Ih ibu, emangnya Imunisasi Polio ditetesin lewat mulut!" hihiiii, Masnya ada-ada aja deh. Vaksin maningistis rupanya mahal juga, biayanya Rp 350 ribu, berlaku selama 2 tahun, dan minimal seminggu sebelum keberangkatan harus sudah vaksin.

3. VISA

Eniwei, saya nggak tahu banyak soal pengurusan VISA Umrah karena semua di handle travel. Yang saya tahu, Visa Umrah memang harus diajukan lewat travel. Arab Saudi nggak mengizinkan perseorangan mengajukan VISA Umrah, harus melalui travel. Ya terserah lah yah, yang penting Kedutaan Saudi Arabia mau mengeluarkan VISA Umrah buat saya. VISA UMRAH berlaku selama 30 hari jadi sebenarnya jamaah Umrah bisa tinggal di Saudi selama 30 hari. Biaya Visa Umrah saya nggak tahu karena semua sudah include dalam harga paket Umrah yang saya bayarkan.

Nah, cukup deh buat cerita berkas ini. Sudah punya gambaran ttg apa saja kelengkapan dokumen buat ber Umrah. jangan mau salah-salah kayak saya yah, Pemirsah!!!

Untuk cerita perjalanan umrah ke Part 3 yuk....





#Cerita Umrah 1 : Dari Niat Hingga Persiapan Ber Umrah


Masjid Nabawi di Madinah

Setelah vakum sebulan lebih tak kunjung mengisi rumah maya ini, akhirnya malam ini bisa juga saya memerintahkan jari-jari agar bersekongkol dengan hati untuk menuliskan pengalaman berumrah. Tapi, sebelumnya saya sudah banyak memposting foto foto dan penggalan cerita ttg Umrah saya kali ini. Hanya saja, saya sudah berjanji pada diri sendiri bahwa blog ini sebisa mungkin di update, jadi deh saya kembali untuk berbagi. Ingat yah , motif saya berbagi, bukan narsisan bukan pertunjukkan eksistensi apalagi religius showtime. Nggak sama sekali.

Well, saya akan cerita sedikit nih kenapa saya berniat nge-blogging segala hal berumrah ini. Pertama, bagi yang baru akan berumrah pertama kali, saya yakin akan sangat membutuhkan sharing pengalaman dengan mereka yang sudah pernah berumrah. Saya berkaca pada diri sendiri, bahwa para blogger yang baik hati yang telah menulis pengalaman berumrah mereka sangat membantu saya dalam banyak hal. Kedua, karena memang dalam rentang Februari hingga tengah Maret ini, berumrah itulah kejadian yang paling gressssss dalam hari-hari saya.

saya akan mulai secara runut yah...

1. Niat ber Umrah dan Ziarah ke Tanah Suci

"segala sesuatu itu bergantung dari niat".

Dalam Islam, kita selalu diingatkan bahwa segala amal atau perbuatan harus dimulai dari niat yang baik, dan akan dinilai berdasarkan niatnya. Sudah sejak lama, setiap melihat tayangan Kabbah di salah satu chanel TV Kabel langganan saya, hati ini tetiba berbisik, "Ya Allah, panggillah saya ke sana!" atau " Kapan yah bisa ke Baitullah!". Selanjutnya, dalam Bulan Ramadhan tahun 2013 kemaren di setiap malam khususnya di malam-malam ganjil yang dipercaya sebagai malam Laitul Qadr, saya membaca doa yang diajarkan Imam Ali Zainal Abidin as (cucu Nabi Muhammad SAW), yang salah satu redaksi doa itu berbunyi,

"Ya Allah, berilah kesempatan padaku untuk berhaji dan berumrah di tahun ini atau tahun - tahun yang akan datang atau setiap tahunnya". Hati saya selalu bergetar membaca itu. Entahlah, saya doyan mengulang ngulang redaksi itu dalam setiap kali bermunajat.

Bersamaan dengan itu, orang tua dan keluarga besar saya selalu menyarankan agar saya sekeluarga bisa segera berumrah. Katanya Umrah saja dulu, kalau haji terlalu lama. Memang sih, soalnya Haji ini khan sistemnya pakai kuota , nggak bisa berangkat seenak jidat. Setiap mendengar saran ini, saya aminkan di mulut dan di hati.

Singkat cerita, bulan Desember, saya ada kelebihan rejeki dari Yang Maha Kuasa. Nilainya cukup besar, yang akhirnya saya tekadkan niat bahwa saya akan berUmrah sesegera mungkin. Malam itu juga saya mengontak sepupu, Haji Abdul Samad, pimpinan Meida Wisata Tour, Biro Umrah dan Haji Plus di Makassar. Setelah menyampaikan niat , saya juga menginformasikan bahwa saya ingin pemberangkatan Januari akhir atau Februari awal karena periode itulah suami saya tidak sibuk dan bisa jauh sebentar dari kungkungaan pekerjaannya.

Nah, paket yang dipesan adalah paket Umrah 12 Hari dengan biaya 2050 US Dollar,  yang nilainya akan dikalikan kurs pada saat pelunasan biaya umrah. Okelah, Deal..kataku. dan esoknya saya mulai bergerilya mengurus dokumen - dokumen Umrah. Yuk, melipir ke Part 2.

Minggu, 26 Januari 2014

Inspiring Change - Di Manakah Kami Harus Menyusui?

*tulisan ini sebagai bagaian support untuk AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia), khususnya AIMI Sul-Sel*
 International Women's Day 2014 Theme: INSPIRING CHANGE

"Women's equality has made positive gains but the world is still unequal. International Women's Day celebrates the social, political and economic achievements of women while focusing world attention on areas requiring further action."
Waktu telah melaju jauh, dunia telah memperingati Hari Perempuan International sejak tahun 1911. Setiap tahun perayaan tema diusung berganti-ganti, tentunya untuk merespon kebutuhan perempuan secara global.  
Tahun ini PBB, melalui UN Women merilis tema "Equality for Women is Progress for All".

 
Saya sepakat, inilah tuntutan perempuan saat ini. Seperti paragraph pembuka di atas, bahwa kesetaraan perempuan memang telah berdampak positif pada banyak situasi, hanya saja dunia ini belum sepenuhnya SETARA. Tidak percaya ?. Entah pembaca yang budiman laki-laki atau perempuan, maka mari kita melihat fakta - fakta kecil  nan sederhanan di lingkaran kehidupan kita sehari-hari. Selebihnya, anda boleh berkesimpulan sendiri.

“Equality for women is progress for all”.
“Equality for women is progress for all”.

“Equality for women is progress for all”.

Dunia boleh bergembira, namun perempuan Indonesia tak sepenuhnya larut dalam eforia perayaan hak hak keseteraan gender. Dunia boleh saja melesat cepat dengan slogan pembangunan dan modernitas yang semakin tumbuh di mana-mana, namun hak – hak perempuan dan kebutuhan perempuan dalam pembangunan belum sepenuhnya mewujud. Yah, dunia memang boleh semakin kompleks, hanya saja hak perempuan dalam kompleksitas pembangunan sepertinya diabaikan oleh  penyelenggara pembangunan, baik negara maupun pihak swasta. Dan parahnya, lelaki lelaki di sekeliling kita, entah itu suami, dosen, insinyur, arsitektur, hingga kepala daerah banyak yang diam-diam saja, seolah tak terjadi apa-apa.

Yang paling menyedihkan, bahwa pemenuhan hak perempuan dalam pembangunan selalu disinggungkan dengan tautan politik, kuota 30 % atau jabatan publik. Apalagi di tahun politik ini, fokus media dan banyak diskusi warung kopi hanya pada kuantitas dan mungkin juga kualitas caleg pemenuhan untuk partai politik. Apakah mereka lupa, bahwa tak semua perempuan terjun berpolitik sebagai caleg, sehingga perempuan terlupakan ini bahakan tak pernah didiskusikan kebutuhan-kebutuhannya. Padahal, kami perempuan biasa yang tidak berpolitik dan bukan pejabat publik juga punya hak kesetaraan gender. Kami perempuan biasa non karir politik juga menuntut hak keadilan gender. Sama seperti caleg-caleg perempuan itu.

Sederhana sekali, kami butuh penyelenggara pembangunan melayani hak reproduksi kami sepenuhnya, tanpa pengecualian dan setengah hati. Kami butuh bukan saja mall atau jejeran tempat belanja, namun kami butuh mall mall yang ada itu menyediakan Ruang  Ibu dan Bayi , semacam ruangan untuk mengganti popok bayi, menyusi, aatau melepas penat setelah menggendong bayi seharian berbelanja kebutuhan rumah tangga.
Sering sekali, kami kaum perempuan yang jumlahnya  mayoritas di Indonesia, harus rela menggadaikan payudara menjadi tontonan umum karena kami harus menyusi.  Hal itu sungguh merepotkan dan memalukan , karena tak jarang kami harus tarik menarik kain tutupan payudara dengan bayi sendiri. Ironis sekali, karena teori memberi ASI di semua penjuru dunia dan literatur berbunyi bawa kondisi psikologis ibu saat menyusui bayi sangat berpengaruh dalam perkembangan emosional, intelektualitas, bahkan kesehatan bayi. Bagaimana bisa memberi ASI yang baik di tengah rasa kikuk dan tergesa-gesa serta udara yang tercampur asap rokok seperti kebanyakan ruang [ublik di sekitar kita?.

Rasanya sulit sekali di Indonesia ini, termasuk kota besar untuk  menemukan fasilitas publik yang dikelola negara yang memiliki Ruang Ibu dan Bayi. Sejauh pengamatan saya, hanya ada satu tempat di pusat permainan terbesar di Makassar yang menyediakan. Namun, di ruang publik dan fasilitas umum hampir tidak ada. Lihat saja di Bandara Internasional Hasanuddin dan Pelabuhan Sukarno Hatta, jikapun ada maka ruangan ini kecil dan terpencil, dalam artian berada pada satu pojokan yang sulit ditemukan secara cepat. Padahal, Melalui amanat Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, pemerintah Indonesia telah menempatkan isu Gender sebagai isu strategis dalam penyelenggaraan negara, termasuk pembangunan.  

Apresiasi pemerintah ini tentulah terkait dengan besarnya gelombang wacana dunia tentang keadilan gender untuk segera diaplikasikan di negara berkembang. Tak bisa dipungkiri bahwa perempuan kini boleh bernafas lega. Negara telah memberikan banyak fasilitas non fisik buat perempuan, baik dalam jaminan kesehatan khususnya persalinan juga bantuan kredit usaha kecil yang bisa diakses perempuan dengan usaha rumahan.
Negara memang telah mengambil banyak langkah maju, tapi sekaligus tertinggal banyak dengan negara lain di kawasan Asia. Jadi betul sekali, jika Indoneksia itu adalah negara yang sangat paradoksal, di satu sisi sangat maju dari sisi gaya hidup, di sisi lain sangat tertinggal dari syarat kualitas gaya hidup yang sehat. 
Jika anda pernah berkunjung ke China, tepatnya di Beijing, maka anda akan kaget serupa halnya dengan saya, karena di sana, pengelola bandara telah menyediakan Ruang Ibu dan Bayi yang sagat lapang dan mudah anda di temui didekat counter check-in. Ruangan ini sangat membantu mereka yang  mereka yang melakukan perjalanan bersama bayi (travel with baby), anak, dan lanjut usia (lansia).

Saya tak perlu pula menuturkan lebih jauh, bahwa tetangga kita yang paling dekat, Singapura, di Changi International Airport , Nursing room mereka bahkan terkesan sangat nyaman dan bersih. Pernah suatu waktu, saya melakukan jalan-jalan di bandara ini hanya untuk mengintip ruang Ibu dan Anak mereka. 
Di Changi airport, Ruang Ibu dan bayi (BabyCare Room) tersedia di 3 Terminal dengan jumlah lebih dari 10 ruangan. Sebagai tambahan, Changi juga menyediakan Taman Kupu-Kupu - Butterfly Botanical Garden- di dalam airport bagi mereka yang melakukan perjalanan bersama anak-anak. Dalam obrolan singkat saya dengan petugas bandara, mereka mengatakan semua fasilitas ini ada karena mereka mengerti betapa melelahkan bagi seorang ibu atau ayah yang melakukan perjalanan dengan anak dan bayi mereka. Stress bukan saja bisa dialamai oleh orang tua bhakan juga oleh anak dan bayi, karena itu kami mengerti bahwa kami di sini ada untuk melayani anda semuanya.
Butterfly Garden di Terminal 3 Changi Airport, Singapura. Foto dari http://www.changiairport.com/at-changi/leisure-indulgences/nature-trail

Mari berbalik arah lembali pada negeri tercinta ini. Relasi gender yang timpang dalam pembangunan terlihat jelas di fasilitas publik di Indonesia. Adalah sebuah keniscayaan, jika pembangunan  melalaikan relasi yang adil antara porsi perempuan dan laki laki dalam pembangunan, maka efektifitas dan fungsi pembangunan akan terhambat. 
Lalu, mana suara kita? Apa tuntutan kita?. Barangkali,  bait penutup ini bisa menjelaskan suara hati saya sebagai bagaian dari warga negara yang acapkali tergadai hak reproduksinya.

"Pemberdayaan perempuan adalah gelombang yang harus bergerak dari bawah dan berakar pada kebutuhan perempuan sendiri. Jika konteksnya adalah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, maka variasi kegiatan akan sangat beragam dan itu sebuah hal yang sangat baik, misalnya Pemerintah Provinsi mewajibkan setiap Kabupaten memiliki Rumah sakit Ibu dan Anak, memiliki ruang menyusui  (laktasi) dengan kondisi yang sehat, bersih, nyaman dan layak pada terminal, bandara  atau fasilitas publiknya. Bayangkan saja, banyaknya kemudahan yang akan dialami oleh perempuan khususnya ibu dan bayi. 
Akhir kata, kebijakan – kebijakan sederhana namun konsisten dilaksanakan adalah hal yang bisa mempercepat peningkatan kualitas hidup perempuan.

Bukankah dikatakan bahwa negara akan kuat jika perempuannya kuat. Ingat, di tangan perempuanlah pendidikan karakter anak bangsa dimulai. Barangkali karena itu, sejarah menyebut Indonesia sebagai ibu pertiwi."

*penulis adalah fans garis keras AIMI SULSEL, dan Indonesia tentu saja serta telah pensiun dari Ibu Menyusui setelah 4 tahun ( 2 kali untuk 2 putra) merasakan kesusahan menyususi di banyak tempat.*


Tidak ada komentar:

Inspiring Change - Di Manakah Kami Harus Menyusui?



*tulisan ini sebagai bagaian support untuk AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia), khususnya AIMI Sul-Sel*

 International Women's Day 2014 Theme: INSPIRING CHANGE


"Women's equality has made positive gains but the world is still unequal. International Women's Day celebrates the social, political and economic achievements of women while focusing world attention on areas requiring further action."


Waktu telah melaju jauh, dunia telah memperingati Hari Perempuan International sejak tahun 1911. Setiap tahun perayaan tema diusung berganti-ganti, tentunya untuk merespon kebutuhan perempuan secara global.  
Tahun ini PBB, melalui UN Women merilis tema "Equality for Women is Progress for All".
Saya sepakat, inilah tuntutan perempuan saat ini. Seperti paragraph pembuka di atas, bahwa kesetaraan perempuan memang telah berdampak positif pada banyak situasi, hanya saja dunia ini belum sepenuhnya SETARA. Tidak percaya ?. Entah pembaca yang budiman laki-laki atau perempuan, maka mari kita melihat fakta - fakta kecil  nan sederhanan di lingkaran kehidupan kita sehari-hari. Selebihnya, anda boleh berkesimpulan sendiri.

“Equality for women is progress for all”.
“Equality for women is progress for all”.

“Equality for women is progress for all”.

Dunia boleh bergembira, namun perempuan Indonesia tak sepenuhnya larut dalam eforia perayaan hak hak keseteraan gender. Dunia boleh saja melesat cepat dengan slogan pembangunan dan modernitas yang semakin tumbuh di mana-mana, namun hak – hak perempuan dan kebutuhan perempuan dalam pembangunan belum sepenuhnya mewujud. Yah, dunia memang boleh semakin kompleks, hanya saja hak perempuan dalam kompleksitas pembangunan sepertinya diabaikan oleh  penyelenggara pembangunan, baik negara maupun pihak swasta. Dan parahnya, lelaki lelaki di sekeliling kita, entah itu suami, dosen, insinyur, arsitektur, hingga kepala daerah banyak yang diam-diam saja, seolah tak terjadi apa-apa.

Yang paling menyedihkan, bahwa pemenuhan hak perempuan dalam pembangunan selalu disinggungkan dengan tautan politik, kuota 30 % atau jabatan publik. Apalagi di tahun politik ini, fokus media dan banyak diskusi warung kopi hanya pada kuantitas dan mungkin juga kualitas caleg pemenuhan untuk partai politik. Apakah mereka lupa, bahwa tak semua perempuan terjun berpolitik sebagai caleg, sehingga perempuan terlupakan ini bahakan tak pernah didiskusikan kebutuhan-kebutuhannya. Padahal, kami perempuan biasa yang tidak berpolitik dan bukan pejabat publik juga punya hak kesetaraan gender. Kami perempuan biasa non karir politik juga menuntut hak keadilan gender. Sama seperti caleg-caleg perempuan itu.

Sederhana sekali, kami butuh penyelenggara pembangunan melayani hak reproduksi kami sepenuhnya, tanpa pengecualian dan setengah hati. Kami butuh bukan saja mall atau jejeran tempat belanja, namun kami butuh mall mall yang ada itu menyediakan Ruang  Ibu dan Bayi , semacam ruangan untuk mengganti popok bayi, menyusi, aatau melepas penat setelah menggendong bayi seharian berbelanja kebutuhan rumah tangga.

Sering sekali, kami kaum perempuan yang jumlahnya  mayoritas di Indonesia, harus rela menggadaikan payudara menjadi tontonan umum karena kami harus menyusi.  Hal itu sungguh merepotkan dan memalukan , karena tak jarang kami harus tarik menarik kain tutupan payudara dengan bayi sendiri. Ironis sekali, karena teori memberi ASI di semua penjuru dunia dan literatur berbunyi bawa kondisi psikologis ibu saat menyusui bayi sangat berpengaruh dalam perkembangan emosional, intelektualitas, bahkan kesehatan bayi. Bagaimana bisa memberi ASI yang baik di tengah rasa kikuk dan tergesa-gesa serta udara yang tercampur asap rokok seperti kebanyakan ruang [ublik di sekitar kita?.

Rasanya sulit sekali di Indonesia ini, termasuk kota besar untuk  menemukan fasilitas publik yang dikelola negara yang memiliki Ruang Ibu dan Bayi. Sejauh pengamatan saya, hanya ada satu tempat di pusat permainan terbesar di Makassar yang menyediakan. Namun, di ruang publik dan fasilitas umum hampir tidak ada. Lihat saja di Bandara Internasional Hasanuddin dan Pelabuhan Sukarno Hatta, jikapun ada maka ruangan ini kecil dan terpencil, dalam artian berada pada satu pojokan yang sulit ditemukan secara cepat. Padahal, Melalui amanat Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, pemerintah Indonesia telah menempatkan isu Gender sebagai isu strategis dalam penyelenggaraan negara, termasuk pembangunan.  


Apresiasi pemerintah ini tentulah terkait dengan besarnya gelombang wacana dunia tentang keadilan gender untuk segera diaplikasikan di negara berkembang. Tak bisa dipungkiri bahwa perempuan kini boleh bernafas lega. Negara telah memberikan banyak fasilitas non fisik buat perempuan, baik dalam jaminan kesehatan khususnya persalinan juga bantuan kredit usaha kecil yang bisa diakses perempuan dengan usaha rumahan.

Negara memang telah mengambil banyak langkah maju, tapi sekaligus tertinggal banyak dengan negara lain di kawasan Asia. Jadi betul sekali, jika Indoneksia itu adalah negara yang sangat paradoksal, di satu sisi sangat maju dari sisi gaya hidup, di sisi lain sangat tertinggal dari syarat kualitas gaya hidup yang sehat. 

Jika anda pernah berkunjung ke China, tepatnya di Beijing, maka anda akan kaget serupa halnya dengan saya, karena di sana, pengelola bandara telah menyediakan Ruang Ibu dan Bayi yang sagat lapang dan mudah anda di temui didekat counter check-in. Ruangan ini sangat membantu mereka yang  mereka yang melakukan perjalanan bersama bayi (travel with baby), anak, dan lanjut usia (lansia).
Saya tak perlu pula menuturkan lebih jauh, bahwa tetangga kita yang paling dekat, Singapura, di Changi International Airport , Nursing room mereka bahkan terkesan sangat nyaman dan bersih. Pernah suatu waktu, saya melakukan jalan-jalan di bandara ini hanya untuk mengintip ruang Ibu dan Anak mereka. 

Di Changi airport, Ruang Ibu dan bayi (BabyCare Room) tersedia di 3 Terminal dengan jumlah lebih dari 10 ruangan. Sebagai tambahan, Changi juga menyediakan Taman Kupu-Kupu - Butterfly Botanical Garden- di dalam airport bagi mereka yang melakukan perjalanan bersama anak-anak. Dalam obrolan singkat saya dengan petugas bandara, mereka mengatakan semua fasilitas ini ada karena mereka mengerti betapa melelahkan bagi seorang ibu atau ayah yang melakukan perjalanan dengan anak dan bayi mereka. Stress bukan saja bisa dialamai oleh orang tua bhakan juga oleh anak dan bayi, karena itu kami mengerti bahwa kami di sini ada untuk melayani anda semuanya.
Butterfly Garden di Terminal 3 Changi Airport, Singapura. Foto dari http://www.changiairport.com/at-changi/leisure-indulgences/nature-trail


Mari berbalik arah lembali pada negeri tercinta ini. Relasi gender yang timpang dalam pembangunan terlihat jelas di fasilitas publik di Indonesia. Adalah sebuah keniscayaan, jika pembangunan  melalaikan relasi yang adil antara porsi perempuan dan laki laki dalam pembangunan, maka efektifitas dan fungsi pembangunan akan terhambat. 
Lalu, mana suara kita? Apa tuntutan kita?. Barangkali,  bait penutup ini bisa menjelaskan suara hati saya sebagai bagaian dari warga negara yang acapkali tergadai hak reproduksinya.


"Pemberdayaan perempuan adalah gelombang yang harus bergerak dari bawah dan berakar pada kebutuhan perempuan sendiri. Jika konteksnya adalah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, maka variasi kegiatan akan sangat beragam dan itu sebuah hal yang sangat baik, misalnya Pemerintah Provinsi mewajibkan setiap Kabupaten memiliki Rumah sakit Ibu dan Anak, memiliki ruang menyusui  (laktasi) dengan kondisi yang sehat, bersih, nyaman dan layak pada terminal, bandara  atau fasilitas publiknya. Bayangkan saja, banyaknya kemudahan yang akan dialami oleh perempuan khususnya ibu dan bayi. 
Akhir kata, kebijakan – kebijakan sederhana namun konsisten dilaksanakan adalah hal yang bisa mempercepat peningkatan kualitas hidup perempuan.

Bukankah dikatakan bahwa negara akan kuat jika perempuannya kuat. Ingat, di tangan perempuanlah pendidikan karakter anak bangsa dimulai. Barangkali karena itu, sejarah menyebut Indonesia sebagai ibu pertiwi."

*penulis adalah fans garis keras AIMI SULSEL, dan Indonesia tentu saja serta telah pensiun dari Ibu Menyusui setelah 4 tahun ( 2 kali untuk 2 putra) merasakan kesusahan menyususi di banyak tempat.*