Sabtu, 30 September 2017

Memantau Laku di Media Sosial



Kita akan memulainya dari trend bahwa komunikasi media sosial menjadi sesuatu yang sudah niscaya dan memang patut disyukuri bahwa informasi menjadi sesuatu yang berlimpah ruah. Bahkan ada banyak yang mengatakan bahwa kecepatan informasi di era digital melalui media sosial, baik FB maupun Twitter telah melampaui kecepatan cahaya. Bersamaan dengan itu, kita menjadi manusia yang semakin sibuk. 24 jam seakan tak pernah cukup dan kalau bisa, kita ingin meminta lebih. Kloplah sudah, kita yang sibuk, waktu terbatas menuntut pula pemenuhan kebutuhan informasi secara cepat.


Secara pribadi saya meyakini bahwa dunia komunikasi membutuhkan "personal touch" atau sentuhan sentuhan pribadi yang akan mengikat audiens secara emosional sehingga ia merasa terlibat dan akan turut berkontribusi. Kekuatan kata "partisipasi" yang dulu terasa jauh , kini dengan kehadiran internet dan khususnya media sosial menjadi sesuatu yang dekat, malah telah menjadi rutinitas. Kita semua yg aktif di medsos, telah menjadi partisipan-partisipan aktif dalam lalu lalang informasi itu


Dengan internet, sepertinya setiap orang dengan gampang akan mengetahui segala sesuatu,hanya dengan sekali klik pada Universitas Google, wikipedia, atau random blogging. Informasi menjadi milik semua orang dalam genggaman, sehingga banyak sekali suara suara yang akan muncul, bahkan yang paling konyol sekalipun. Medsos, seperti Facebook menambah kehingar bingaran ini dengan menyediakan panggung untuk "mengomentari" segala hal di kolom "what's on your mind?". Paradoks yang muncul adalah ketika kepuasan berkomentar ini lebih banyak menghayalnya daripada realitas sesungguhnya (makna) maka apa yang dicapai bukanlah diseminasi informasi yang memberikan pencerahan dan mengedukasi publik , melainkan kegamangan informasi. Itulah, kenapa kita dengan mudah menemui ahli-ahli "dadakan" akan banyak hal saat ini. Maksud ahli dadakan adalah orang-orang yang tidak lahir dari pengujian keahlian tertentu berdasarkan metodelogi ilmu pengetahuan, tetapi menjadi rujukan yang diterima begitu saja dalam masyarakat karena faktor -faktor X (hegemoni kelompok, politik, dll).


Dalam opini di Kompas tanggal 21 Agustus, terdapat artikel yang membahas tentang sebuah buku yang menghebohkan Amerika saat ini, The Death of Expertise, karya Tom Nichols.  Artikel oleh Surjani Wonorahrdjo, yang berjudul " Kematian Para Ahli, Benarkah? "  akhirnya membuat saya bisa memahami sedikit pola-pola medsos yang kebanjiran “ahli”  dan kemana sebaiknya ia disandarkan.

Ada 3 hal pokok yag dibahas artikel itu yakni, Jarak Epistimologis, Pentingnya Etika dan peran  Institusi Pendidikan menjawab tantangan-tantangan ini.Barangkali khususnya ilmu sosial, dimana banyak sekali kekosongan analisa ilmiah ttg situasi apa yang terjadi yang lalu diisi dengan produksi hoax yg bermuatan politik, (sarjana komunikasi salah satunya yang rawan tergeser)


Cukup panjang juga ini yah, tapi saya singkat sedikit aja, nanti bisa didalami di artikelnya langsung, :

1.      Jarak epistimologis : Seorang ahli tentukan membutuhkan metodologi ilmiah dalam menarik kesimpulan atas sebuah kebenaran informasi. Dia membutuhkan waktu untuk mendekati realitas. Namun hukum medsos adalah kecepatan dan viralkan. Awam membaginya secara cepat kepada awam, tanpa pemeriksaan yang lebih. kecepatan viral bisa membuat kerancuan informasi dan penerimaan hoaks menjadi sesuatu yang lazim. Urusan konfirmasi itu belakangan, yang jelas ikut trend topik dulu.

2. Pentingnya etika : disinilah masyarakat awam sesungguhnya berperan besar untuk menyehatkan ruang informasi publik kita. Tak semua orang perlu menjadi ahli yang mampu mengomentari semua hal, tapi kita semua perlu menjadi awam yang bijak. Tundalah memposting berita atau informasi sejenak yang bersandar pada bias konfirmasi-konfirmasi apalagi jika hanya menruskan sesuatu yang tidak dimengerti sama sekali. Nyatanya, hal ini menjadi sesuatu yang sudah sangat  biasa kita temui. Di Amerika, realitas ini disebut dengan fenomena A Cult of Ingnorance.

3. Peran Institusi Pendidikan : Orientasi pengajaran membutuhkan iklim yang sehat, tidak hanya bertujuan menjadikan peserta didik harus  “pintar”.  Pendidikan harus mampu menjadi sarana untuk menyadari kebutuhan kita akan epistimologi, tentang metodologi , tentang proses . Hal inilah yang akan menyelamatkan institusi pendidikan dari mencetak orang – orang yang hanya hanya nampak dan seolah-olah tahu padahal tidak tahu apa-apa. 

jadi, sudahkan anda berkomentar hari ini?




Jumat, 05 Mei 2017

Dari Pinggiran, Indonesia Memoles Diri




Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh ekonom Indonesia, Rhenald Kasali, saya membaca suatu kutipan nasihat yang sangat membekas luar biasa, yakni “Those who do not travel read only one chapter – Agustinus. Secara bebas dapat diterjemahkan dengan mereka yang tidak melakukan perjalanan hanya membaca satu bab saja. Karena itu, menjelajahi Indonesia adalah bagian dari keinginan saya yang selalu saya ingin wujudkan, tak sekedar berwisata, namun saya ingin menjadi saksi sejarah tentang keindahan alam Indonesia yang membentang dari pantai, laut, hutan dan gunung, dari Sabang sampai Merauke. 
Tahun 2009, adalah saat pertama kali saya menginjakkan kaki di pulau terluar sekaligus teras  terdepan NKRI, yakni Pulau Nunukan. Untuk mencapai pulau kecil ini, saya harus menepuh perjalanan laut 3 hari 4 malam dengan kapal penumpang TIDAR dari pelabuhan Sukarno Hatta di Makassar ke pelabuhan Tunon Taka di Nunukan. Begitu, tiba saya menyaksikan bahwa kota Nunukan, secara kasat mata tampak seperti kota kecil lainnya di Makassar, tidak memiliki bangunan pencakar langit serta diisi dengan jalan jalan aspal yang bersih dan taman badan jalan yang tertata apik. 

pelabuhan Tunon Taka, Nunukan


Melalui kolega, saya menyatakan kekaguman saya pada kebersihan kota dan tamannya yang cantik. Memang saat itu, Nunukan baru beberapa tahun terbentuk menjadi Kabupaten, karenanya sedang berbenah. Hanya saja, persoalan listrik dan air bersih masih menjadi kendala utama di Nunukan, yakni listrik sangat sering padam dan sumber air mengandalkan curah hujan. 

 
Nunukan dalam Peta
Saat tiba pertama kali, sekilas saya melihat pelabuhan di Nunukan masih sangat biasa saja, saya juga tidak menemui ruang tunggu di pelabuhan yang nyaman layaknya di beberapa kota besar yg  pernah saya singgahi.  Hal ini membuat saya sedikit kerepotan, karena arus turun dan naik penumpang kapal bersatu dengan hilir mudik buruh kapal dan juga tumpukan barang. Hal ini sangat tidak nyaman dan mengganggu penumpang perempuan dan anak-anak. Saat itu, saya betul-betul berharap, negara bisa segera hadir menyelesaikan persoalan dan menjawab kebutuhan warganya di perbatasan negeri ini.

ilutrasi

------

20 Oktober 2014, adalah tanggal bersejarah bagi perjalanan bangsa ini, karena saat itu Indonesia memiliki Presiden ke-7, Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Memenangkan pemilu dengan fenomena partispasi warga, relawan, dan kekuatan pemilih muda, Jokowi-JK segera membawa angin segar bagi warga di perbatasan dengan langsung meneriakkan Nawacita, sebagai nafas sekaligus arah pemerintahan baru bagi Indonesia.  Apalagi, pasangan Jokowi-JK selalu menyebutkan dan memprioritaskan pemerataan pembangunan, khususnya memperhatikan secara lebih khusus bagi daerah perbatasan sebagai benteng penjaga kedaulatan NKRI sekaligus harga diri NKRI di mata negara tetangga. Hal ini, beliau tuangkan dalam Nawacita ke-3 yakni, Membangun Indonesia dari  pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Sejak saat itu, daerah perbatasan tak lagi sepi. Hilir mudik kunjungan orang pusat (baca menteri, dirjen, asisten, staf ahli, pejabat kementrian dll), mulai meramaikan daerah perbatasan. Nunukan pun tak luput dari semua agenda kunjungan kerja para pemangku kepentingan Indonesia. Perbatasan sebagai  beranda NKRI sekaligus wajah Indonesia bagi negara tetangga, oleh Presiden Jokowi diperintahkan untuk harus  berbenah, mempercantik diri. Jangan mau kalah sama tetangga, kita harus menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara poros maritim yang besar dan kuat, dan itu harus dimulai dari perbatasan. Apalagi, Kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Brunei Darussalam, juga merupakan salah satu dari 26 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dengan arah kebijakan meliputi dua hal, yakni : 
            A.  Mempercepat pembangunan kawasan perbatasan 2015-2019 di berbagai bidang 
        B.  Menempatkan kawasan perbatasansebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan   dengan     negara tetanggasecara terntegrasi dan berwawasan lingkungan.

Sesuai skala  prioritas Jokowi-JK, maka sektor infrastruktur di perbatasan menjadi titik prioritas yang segera dikerjakan oleh pemerintah. Dalam kurun waktu 3 bulan setelah dilantik, Presiden Jokowi langsung mengunjungi Kabupaten Nunukan, sebagai salah satu kabupaten 3T (terpencil, terluar, terdepan). Kecamatan Sebatik, desa Sungai Pancang menjadi  tujuan utama Jokowi. Di sana, Presiden melihat sekaligus memantau langsung patok-patok batas wilayah negara sebagai tanda  wilayah kedaulatan NKRI. Beliau juga  memberi arahan dan sekaligus melakukan berbagai evaluasi untuk perbaikan infrastruktur di perbatasan. Tak lama berselang, niat baik Presiden membangun di perbatasan ditunjukkan dengan pembangunan dan peresmian Bandara Juwata Tarakan, sebagai bandar udara terbesar di provinsi termuda di Indonesia,  Kalimantan Utara. Presiden meyakini dan ia benar, bahwa program infrastruktur di perbatasan haruslah diperkuat dan dipercepat, untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan ini. 



Selain itu, dimulai dari dua tahun lalu, pembangunan pelabuhan bertaraf internasional mulai dikerjakan di Nunukan dan Kota Tarakan. Pemerintah sangat memahami, untuk mendorong peningkatan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi di Indonesia, konektivitas antar pulau dan negara tetangga di perbatasan harus segera dibenahi secara serius dan berkelanjutan, dari hulu ke hilir. Dengan infrastruktur yang memadai, maka tercipta peluang peluang baru bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas dengan mudah, mengangkut hasil bumi dan laut ke kota atau ke negeri seberang. Kebijakan percepatan pembangunan ini membawa dampak ekonomi yang luar biasa, dimana pasar ekspor impor perdagangan internasional yakni Malaysia dan Filiphina mulai serius digarap oleh pemerintah pusat dan daerah, sehinggal hal ini diharapkan berdampak pada peningkatan daya ekonomi masyarakat dan penghasilan daerah secara mandiri.
Geliat pembangunan perbatasan, harus diakui adalah bukti komitmen Jokowi untuk melakukan pemerataan kesejahteran dan mengurangi dispritas  antar wilayah di Indoensia. Tak hanya di Nunukan, dalam data yang dimuat oleh Statistik Indonesia tertuang data  bahwa  Jokowi-JK telah membenahi Jalan Perbatasan Sepanjang 3.187 Km. Disebutkan bahwa, per Agustus 2016, Pemerintah telah melakukan perbaikan jalan di perbatasan Indonesia sepanjang 3.187 kilometer (km). Peningkatan kualitas jalan tersebut dilakukan di 24 titik mencakup wilayah Kalimantan, Papua dan Nusa Tenggara Timur.Di Kalimantan jalan yang tersambung mencapai 1.454 km sedangkan yang belum tersambung mencapai 446 km. Di wilayah Indonesia Bagian Timur, Papua merupakan satu-satunya daerah dengan jalan perbatasan yang telah tersambung cukup panjang mencapai 844 km sedang di NTT sepanjang 63 km. Di dua wilayah ini, jalan perbatasan yang belum tersambung diperkirakan kurang lebih mencapai 300 km.Peningkatan kualitas ini menjadi bagian program pemerintah 2015-2019 dalam upaya perbaikan pintu gerbang menuju Indonesia (sumber : http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/10/19/jokowi-jk-benahi-jalan-perbatasan-sepanjang-3187-km

 
sumber:databoks.co.id


Selain itu, Sejumlah sarana dan prasarana telah dibangun di wilayah perbatasan di Pulau Sebatik dan  Nunukan, seperti Rumah Sakit Umum Daerah, asrama sekolah bagi anak TKI di perbatasan, dll. Sebelum pembangunan dimulai, Jokowi sudah meminta sejumlah menteri untuk menyerap aspirasi warga setempat guna memperlancar pembangunan. Beberapa fasilitas yang akan dibangun di sana di antaranya adalah pasar, sekolah, dan asrama. Bahkan pemerintah telah mengerjakan pembangunan jalan lingkar serta merencanakan  pengadaan  program kapal penyeberangan ke Malaysia. Hal ini bertujuan untuk meningkakan konktivitas nasional dan juga dengan negara tetangga dari perbatasan Indonesia. Bagi Jokowi, adalah sebuah amanat UU untuk Indonesia melakukan pemerataan pembangunan melalui peningkatkan belanja infrastruktur salah satunya. Melihat paparan dalam Indonesia Dalam Angka diketahui bahwa Indonesia memiliki 101 Proyek untuk memperlancar konektivitas nasional dengan dukungan anggaran untuk infrastruktur sebesar 346,6 Triliun. Presiden meyakini, hal ini akan mengurangi kesenjangan antar daerah dan membangun peningkatan ekonomi masyarakat.(sumber :http://katadata.co.id/infografik/2016/10/22/101-proyek-jokowi-untuk-perlancar-konektivitas

infografik dari http://katadata.co.id/infografik/2016/10/22/101-proyek-jokowi-untuk-perlancar-konektivitas

Selain itu, pemerintah juga terus menggenjot pembangunan infrastruktur untuk mempercantik Indonesia dari garis depan. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, menargetkan jalan perbatasan di Kalimantan sepanjang 1.900 kilometer (km) mulai dari Mensalong, Kalimantan Utara hingga Temajuk, Kalimantan Barat sudah dapat ditembus pada akhir 2018, atau paling lambat awal 2019. Tidak hanya jalan paralel, juga dibangun jalan akses menuju tiga Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Kalbar yakni Aruk, Entikong, dan Badau yang sudah diresmikan penggunaannya oleh Jokowi. Pos-pos perbatsan juga di percantik, yakni di Entikong , Kalimantan Barat dan NTT. Selama bertahun-tahun, pos lintas batas negara terlihat tak terawat dan biasa saja, kini telah menjadi sangat cantik. Hal ini menjadi bukti, bahwa Indonesia saat ini memang telah berebenah dari pinggiran. ((sumber : https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3453208/era-jokowi-jalan-di-perbatasan-mulus-dan-diperlebar ).
Melihat berbagai usaha yang gencar dilakukan pemerintah pada infrastruktur, maka keyakinan akan Indonesia tumbuh menjadi negara yang kuat dan berkeadilan sosial, adalah mimpi yang harus dijaga. Begitu pula  halnya dengan kawasan perbatasan. Kita tak memerlukan lagi slogan-slogan dan janji manis untuk hal ini, melainkan bentuk konkret kehadiran negara di tengah masyarakat perbatasan.

Dalam sebuah pepatah bijak dikatakan bahwa "Criticism may not agreeable, but is necessary. It fulfills the same function as pain in the human body. It calls attention to unhealthy state of things " William Churchill. Maka kami di perbatasan, akan terus dan tak lelah untuk bekerja bersama pemerintah menepati  janji Presiden bahwa kesejahteraan harus dihadirkan di semua kawasan, tak terkecuali di tengah masyarakat perbatasan. Selain itu, pemerintah harus betul-betul melakukan perencanaan pembangunan di perbatasan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan dengan manampung aspirasi dari masyarakat secara langsung. Pemerintah juga harus menjaga keamanan dan kehormatan wilayah di perbatasan melalui pemenuhan hajat hidup masyarakat seperti listrik, air, dan BBM. Segala pekerjaan infrastruktur yang dilakukan pemerintah, haruslah berfokus pada menjawab persoalan persoalan yang menyangkut hajat hidup masyarakat perbatasan. Selain itu, pembangunan fasilitas publik seperti pelabuhan juga harus memasukkan unsur-unsur kebutuhan khusus perempuan dan anak-anak, dalam realisasinya misalnya ruangan laktasi dan bebas rokok. Hal ini penting, mengingat Nunukan adalah daerah transit yang banyak menjadi persinggahan para TKI yang membawa keluarganya, termasuk perempuan dan anak-anak. Beberapa program memang telah berjalan,beberapa lagi masih dalam tahap perencanaan, namun kita tak boleh lengah dan lelah dalam bekerja, bergandengan tangan, bersinergi. Hal ini sejalan pula dengan poin pertama Nawacita yakni menghadirkan kembali negara di tengah warga negara.