foto diambil dari www.panoramio.com |
Ketika Makassar mencanangkan diri sebagai Kota Dunia,
sayup-sayup angin bertiup sepoi-sepoi , membawa kabar bahagia ini pada telinga
segenap penduduk kota. Sebagian warga
langsung larut berbahagia menyongsong cita-cita besar ini, sebagian lagi sibuk
berucap sumpah serapah, ada pula yang hanya duduk-duduk tanpa suara.
Anggaplah, sekiranya kita semua turut berbahagia, bersuka cita.
Bukankah sangat hebat menjadi Kota Dunia, sejajar dengan New York atau Paris.
Ini adalah kabar baik bagi seluruh isi kota. Betul-betul sebuah kabar baik.
Maka, seisi kota saling mengirimkan kabar gembira ini, seluruh warga kota mulai
merenda-renda kemajuan kota yang akan segera mereka lihat. Hah, tak sabar
rasanya seperti warga Paris. Tentulah, kita – warga makassar- akan menjadi kaya
raya, karena kota ini akan dikunjungi banyak turis mancanegara. Di mana lagi di
Indonesia ini yang berani tampil sebagai kota dunia?.
Kota dunia – banyak turis – warga kaya raya. Rentetan kosa
kata ini lalu menebar kebahagiaan tak terperi. Alangkah bahagianya, warga
Makassar. Sebagai warga kota dunia, kita
hanya perlu membuka sedikit pekarangan, di tambahkan beberapa tenda-tenda
berwarna pelangi, lalu isilah pekarangan dengan bangku dan kursi dari mahoni,
jati, ataupun rotan yang dicat warna putih. Jangan lupa meja dan dekorasinya.
Sisipkan sedikit bunga mawar atau asoka berwarna-warni dalam sebuah vas tanah
liat yang telah ditempeli hiasan kupu-kupu Bantimurung. Bukankah, begitulah
adanya warga Paris?. Mereka kaya raya hanya dari halaman rumah. Dengan pekarangan yang luasnya tak seberapa,
mereka membuka kafe-kafe ,warung kopi, atau kios – kios kecil , sebagai
persinggahan para turis untuk berehat, sekedar menikmati kota dan bersenda tawa.
sudut kota paris foto dari http://www.exchangezones.com/page282.htm
|
Selang beberapa
bulan, hingga telah berganti tahun, harapan setinggi langit warga mulai retak
di mana-mana. Suhu kota ini semakin panas. Kanal-kanal menjadi macet dengan tumpukan sampah plastik dan buangan barang bekas, semakin menjijikkan karena di sisi kanal tak ditemui pohon rimbun dan bangku-bangku tempat melepas lelah. Deretan ruko mulai menggeser
keberadaan halaman-halaman hijau. Bayangan kota yang adem dan ramah bagi
pejalan kaki, sepertinya lenyap entah kemana. Padahal, bukankah Paris, sebuah
kota dunia, memiliki banyak jalan khusus bagi pejalan kaki (pedestrian way) dan rerimbunan pohon di sisi kanan
kiri. Sebaliknya, jalan-jalan di kota Makassar semakin kejam, pun halnya dengan
para pengguna jalan. Untuk alasan-alasan yang kadang tidak kita ketahui,
beberapa pejalan kaki yang naas tersenggol kendaraan roda dua atau di klakson
nyaring pengemudi roda empat.
kanal di Paris. foto http://www.exchangezones.com/page282.htm
|
Konsekuensi menjadi Kota dunia, mungkin terlalu tinggi.
Harapan dan gambaran akan kota dunia yang indah menawan, seakan berjalan
berlawanan arah dengan kenyataan kota yang semakin bising. Kemudian, ada
segenap warga yang bersuara, siapapun di antara kalian yang ingin melanjutkan
cita-cita Kota Dunia, maka kutitipkan sedikit bait terakhir ini pada kalian.
Seorang Dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya, Reza AA. Wattimena memaparkan rangkaian kajian filsafat langitan lebih aplikatif pada Filsafat Tata Kota. Ia mengatakan bahwa "kegagalan menciptakan tata kelola demokratis akan menciptakan ketidakpatuhan sah (legitimate disobedience). Artinya ketidakpatuhan pada suatu keputusan ataupun kebijakan, atas dasar rasionalitas yang bisa diterima dengan akal sehat. Ketidakpatuhan muncul, karena orang tidak diajak ambil bagian dalam keputusan yang telah dibuat."
Akhirnya, kabar Kota Dunia yang terlanjur telah diputuskan dan berakibat menggerus uang rakyat secara tak terarah bisa berakhir gagal dan omong kosong belaka hanya karena satu hal yang terlalu disepelekan, yakni
karena orang tidak diajak ambil bagian dalam keputusan yang telah dibuat. Alangkah!!!
saya rekomendasikan tulisanta di google+
BalasHapusterima kasih kaka. Tulisan yang tentu tak begitu pentingji kodong
BalasHapus