Ada sebuah negeri, dimana politik adalah jualan yang laku keras. Di
berita TV, di koran,hingga berita online, semua mengabarkan kisruh dan
hiruk pikuknya dunia perpolitikan itu. Setiap hari dan setiap detik,
berita politik adalah berita headline. Akhirnya, publik yang kadang tak
terlalu berkepentingan dengan semua dagelan politik yang panjang itu,
lama kelamaan merasa berkepntingan, berkepentingan menonton dan
mengikuti dagelannya.
Hingga, mulai ditemukan banyak di sudut kampung
perbincangan ttg politik, yg lagi lagi topiknya adalah lakon sang
politisi. Miris sekali, proses politik di negeri itu adalah didominasi
sekumpulan lakon yang saling adu kemampuan sindir, bukan proses
pencerdasan politik. Publik di negeri itu digiring untuk menjadi massa
pasif, bukan sebagai individu yang memiliki hak politik.
Juga,
masih di negeri itu, isu politik menjadi isu yang paling santer. Program
berita hingga infotainment semua berpusar di situ saja, mulai dari
kisah cinta politisi ini dgn si Anu, video porno, hingga korupsi si
Politisi artis, semua berkelok dan rumit. Berita semakin heboh,
muatannya adalah aib dan segala hal yang negatif. Mungkin saja, negeri
itu penganut Good News is Bad news. Dampaknya, pesimisme muncul
dimana-mana. Orang saling mencurigai, mudah memprovokasi dan rawan
gosip. Di negeri itu, perlahan – lahan, kekacauan timbul dimana-mana.
Teror dan ketakutan mulai tersebar. Darimanakah semua virus itu?
Barangkali dari berita. Yah, barangkali.
Lalu, salahkan itu semua?
Bukan
persoalan salah dan benar, apalagi kamu yang benar dan aku salah.
Logika on off semacam itu sebaiknya kita simpan dan kunci rapat rapat di
lemari tempat menyimpan arsip arsip tua. Kenyataan itu cair,hidup itu
dinamis. Mengapakah mesti terjebak pada pertanyaan yang berujung pada
salah dan benar. Realitas sebagaimana yang tampak setiap saat itu
berdimensi..multidimensi. jadi, mari sejenak berjalan jalan, mencoba
melihat sisi yang lain. Mari, merayakan hidup.
Nah, di negeri itu,
berita tak memberi tempat banyak pada optimisme dan kebanggaan. Berita
lupa memberi panggung untuk mereka yang memilih melawan arus. Optisisme
tak digaungkan sebesar pesimisme. Virus Optimisme lalu muncul dari
jejaring sosial, dari interaksi kelas menengah. Namun, berita media tak
pernah berakar pada kebutuhan masyarakat. Informasi menjadi milik mereka
yang hanya punya akses. Nah, jika anda miskin di negeri itu, maka
sayang sekali, anda harus berjuang sendirian, karena media besar tak ada
di sana untuk anda setiap saat.
Saya heran dan bertanya,
mengapakah di negeri itu, media besarnya tak memberitakan informasi
beasiswa yang melimpah ruah di internet, sehingga akan banyak orang yang
tahu dan termotivasi untuk mencoba berbagai peluang. Mengapa mereka
yang duduk di meja redaksi, tak memberi liputan yang massif dan sering
tentang bagaimana caranya agar masyarakat bisa menghargai diri sendiri
melalui kisah inspiratif banyak sosok teladan di negeri itu dalam
berbagai bidang. Semua itu perlu, agar anak bangsa negeri itu tumbuh
menjadi sosok yang berkarakter kuat dan punya teladan.
Ah,
negeri itu, jika dilihat dalam peta Google Map adalah hamparan warna
warni ceria kehidupan. Unsur biru,hijau, coklat dan merah, seakan merata
dan berbagi tempat dengan harmonis. Apa mau dikata, denyut manusia
negeri itu tak seharmonis bumi yang terpijak. Sayang sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar