Di King Abdul Aziz International Airport, Jeddah, Arab Saudi |
Sehari sebelum berangkat ke Jeddah, terus terang saya mulai
dilanda sindrom travelling, begitu istilah saya. Meski sindrom ini gak terjadi pada semua
orang yang hendak bepergian jauh dan lama, tapi hal itu mutlak terjadi pada
saya. Selalu begitu acapkali hendak bertualang ke tempat baru nun jauh. Ciri-cirinya, mata
nggak bisa terpejam, gak bisa tidur, tiba-tiba sakit perut, gugup dan pikiran
melayang layang gak karuan.
Gak enak banget sebenanrnya berada dalam kondisi psikologis
dan fisik yang lelah jika hendak menempuh perjalanan yang jauh. Apa mau dikata,
begitulah tubuh saya bereaksi jika akan ke luar negeri. Sebisa mungkin, saya
mengatasi situasi itu dengan memperbanyak dzikir, istighfar, dan shalawat. Saya
juga sesekali membaca buku-buku psikologi untuk menenangkan pikiran, kali –kali
aja saya mengalami gangguan kejiwaan khusus ;-0).
Tepat pukul 12 malam, memasuki tanggal 18 Februari, saya
mulai melakukan beberapa ritual khusus untuk perjalanan Umrah. Pertama, mandi
bersih, lalu shalat taubat, shalat sunnat lainnya, serta berdoa dan membaca surat
Ar Rahman. Menjelang pukul 03.00 WITA , saya melakukan shalat 2 rakaat sebelum keluar rumah
dan doa hendak melakukan perjalanan.
Menuju ke Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar jalanan masih sangat lancar.
Tentu saja nggak ada macet, soalnya masih shubuh. Setiba di sana, suasana sudah
sangat ramai. Jamaah umrah rombongan saya sudah berdatangan dari berbagai
tempat, ada dari Pangkep, Pare-pare, Papua, Bantaeng, dan Makassar. Rame
banget, soalnya kami berangkat dengan jumlah 150 orang jamaah. Rekor banget
khan.
Saat nunggu shalat lumayan lapar banget, saya baru inget
rupanya saya bahkan belum makan apa-apa dari semalam. Akhirnnya, nongkronglah
saya di Blue Sky Lounge numpang makan, minum kopi dan menikamti barongko
sebanyak-banyaknya (takutnya kangen makan barongko selama di sana, apalagi
survey membuktikan bahwa di Arab Saudi gak ada yang namanya Pohon Pisang
he..he..he..). Di lounge ini juga ada Mushalla, jadi sekalian saya shalat di
sana.
Alhamdulillah banget setelah kenyang, sepupu saya yang
pimpinan travel mengatakan kalau ia yang traktir. Senang banget euy, eh belum
habis rasa gembira di hati, ia lalu membuka dompetnya. Ia memberikan uang jajan
300 real plus istrinya memberi 60 dollar buat saya. Aduh..aduh..bersyukur
banget deh dapat rejeki tak terduga. Dengan rasa bahagia yang tak terkira, saya
melangkah tenang memasuki pesawat untuk menuju Jakarta.
Jazirah Arab , Padang Pasir semuanya dari ketinggian 35 000 kaki |
Seumur-umur naik pesawat ke mana-mana, perjalanan Makassar-Jakarta ini yang paling membuat lutut lemas. Kira-kira begini,
pernahkah kalian merasa sangat dekat dengan maut?. Begitulah kejadiaannya.
Karena masih imbas dari abu Gunung Kelud, pilot mengumumkan bahwa jarak pandang
hanya 5 meter. Pesawat berguncang hebat, seluruh penumpang diam dan berdoa.
Lalu, tiba-tiba terasa pesawat seperti terhempas ke bawah, selebihnya
oleng ke kiri dan ke kanan selama setengah jam. Gelas-gelas di ruang pramugari
pada berjatuhan dan pecah. Semua yang ada di pesawat berteriak “Allahu Akbar”.
Saya bahkan sudah menangis berpegangan tangan dengan penumpang di samping saya.
Dalam hati, saya berkata “Ya Allah, jika Engkau menakdirkan aku hanya sampai di sini, aku
ikhlas Ya Allah. La haula Waala Quwwata illahbillah”. Suasana panik dan sangat
menegangkan.Tak selang berapa lama, sang pilot sudah berhasil menetralkan laju
pesawat. Perlahan-lahan, Jakarta sudah mulai terlihat. Seisi pesawat mulai
mengucap “Alhamdulillah” meski masih sedikit tegang, soalnya khan belum sampai
beneran.
Setiba di bandara Soekarno Hatta, kami sujud syukur karena
selamat dalam 2 jam penerbangan yang sungguh membuat pucat pasi.
Gak lama-lama amat sih di Soetta, hanya transit 3 jam itupun
diisi dengan makan pagi (Yess, makan lagi) pembagian paspor dan boarding pass
serta pemeriksaan di keimigrasian. Lagi-lagi bagasi sudah dihandle travel.
Hanya saja, antri di pengecekan paspor ini yang lumayan lama, soalnya banyak
banget khan orang Indonesia yang hendak umrah. Selesai antri, langsung masuk ke
ruang tunggu dan naik pesawat. Saat itu, pesawat akan take-off jam 12.00 WIB
dengan rute Jakarta-Jeddah, selama 9 jam tanpa transit.
Perjalanan menuju Jeddah sangat nyaman, selain karena
pesawatnya gede banget (bertingkat) serta nggak ada turbelensi. Selama
penerbangan, makanan dan minuman sering banget di sajikan. Belum habis makanan
yang satu, datang lagi yang lainnya. Apalagi kuenya enak-enak. Jadilah saya
selalu berdoa, “semoga pembagian snack segera tiba”. He..he..he.
Penerbangan datar-datar saja, kecuali ada insiden kecil yang
menimpa rakyat kecil (kecil dalam artian postur tubuh hingga strata sosial ) seperti saya. Awalnya, dari travel menginformasikan bahwa saya duduk di kelas bisnis. Eh, rupanya dalam pesawat itu ada rombongan anggota DPR dari partai
tertentu yang karena alasan koneksi dengan maskapai mengambil jatah VIP saya.
Ya udahlah, saya gak mau ribut. Mau di ekonomi atau di kelas bisnis gak soal,
yang penting nggak di suruh melantai sambil gulung tikar. Meskipun sebenarnya
lebih enak melantai dan gulung tikar kali di pesawat , biar bisa baring,
mengingat waktu terbang yang sangat lama, he,..he..he...
Akibat insiden kursi yang tertukar tadi, saya duduk sebaris
dengan dua nenek-nenek yang terlihat sangat gugup naik pesawat. Alhamdulillah,
inilah hikmah dari kejadian itu. Allah SWT memberi saya kesempatan untuk
membantu orang lain sekaligus membantu diri sendiri. Seandainya duduk
di VIP, mungkin saya akan sibuk tidur dan ngurusin kerempongan diri yang gak ada habis-habisnya itu,
atau yang paling jelek, mungkin saya akan sibuk menonton film dan kehilangan
kesempatan beramal. Di kursi ekonomi, saya diamanahkan Allah SWT secara tidak
langsung untuk membantu 2 nenek-nenek ini memasang sabuk pengaman, merebahkan
kursi mereka, hingga memijat-mijat betis dan lengan dan kepala mereka yang
sakit. Saya juga, menyelimutinya karena mereka sangat kedinginan. Membantu
mereka untuk berbicara dengan pramugara yang cakep (syukur deh ada yang cakep)
untuk menyampaikan kebutuhan mereka, misalnya si nenek satu mau minum teh saja
tanpa gula, si nenek satu hanya mau air putih saja. Berkali-kali “duo nenek”
itu mengucapkan terima kasih pada saya, dan bersyukur karena ada anak semanis
dan semodis saya (ehm...ehmmm) yang siap mengurusi mereka di pesawat.
Antrian di bandara untuk membeli kartu pernana, Mobily |
Dalam penerbangan yang jauh dan lama, keterampilan untuk
menghibur diri sendiri sangat diperlukan. Jadilah saya hanya menatapi peta
digital dalam layar lebar di pesawat. Lumayan untuk menghilangkan rasa capek
dan bosan . Dari peta, saya melihat bahwa pesawat terbang melintasi
Indonesia-Thailand-China-Colombo-India-Dubai-UEA-Jeddah. Sesekali saya membaca
buku panduan umrah, mengaji, dan foto-foto. Ketika pesawat hendak mendarat di King Abdul
Azis Internatioanl Airport di Kota Jeddah – Arab Saudi, awak kabin mengumumkan sesuai titah Raja Arab bahwa pesawat harus disemprot dahulu sebelum
mendarat. Baru kali ini saya naik pesawat dan disemprot-semprotin pakai
wewangian di atas pesawat. Kesannya sih lucu aja, emang kita ini nyamuk
disemprotin. ;-).
And Finally, keluarlah pengumuman yang paling ditunggu-tunggu
selama 9 jam terakhir yaitu “Para penumpang yang terhormat, selamat datang di
Bandara International King Abdul Azis , Jeddah”. Bersamaan dengan itu, mata
saya terasa mulai basah. Alhamdulillah, satu tanah baru kembali saya tapaki. Saudi
Arabia.